Rabu, 29 Mei 2013

Sejarah Gerakan Buruh

KITA, SEBAGAI BURUH, SADAR BAHWA NASIB KITA LEBIH DEKAT KE BUNTUNG DARIPADA UNTUNG. KITA TIDAK PUNYA MASA DEPAN YANG JELAS KARENA REKENING KITA NOL. GAJI YANG KITA TERIMA AMBLAS. DALAM HITUNGAN HARI. TENGAH BULAN, KITA ANTRI KASBON KE BAGIAN KEUANGAN ATAU PINJAM UANG DI KOPERASI. BURUH LAKSANA PEKERJAAN DETERMINAN, SEKADAR MENGISI WAKTU HINGGA AJAL MENJEMPUT KITA. PROFESI INI MEMANG BUKAN PROFESI MEMBANGGAKAN
 I. Sejarah Gerakan Buruh Dunia
Pada tahun 1806 terjadi pemogokan pertama oleh kelas pekerja Cordwainers Amerika Serikat. Pemogokan tersebut menuntut dikuranginya jam kerja menjadi 8 jam yang semulanya 19 sampai 20 jam setiap harinya. Sejak saat itu, perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja di Amerika Serikat, hingga akhirnya meluas ke seluruh dunia.

Pada tahun 1872, Peter McGuire dan Matthew Maguire bersama 100.000 pekerja melakukan aksi mogok untuk menuntut mengurangan jam kerja. McGuire lalu melanjutkan dengan berbicara dengan para pekerja dan para pengangguran, melobi pemerintah kota untuk menyediakan pekerjaan dan uang lembur. McGuire menjadi terkenal dengan sebutan “Pengganggu Ketentraman masyarakat”.

Insiden Haymarket 
Dalam sejarah pergerakan buruh, peristiwa Haymarket merupakan salah satu catatan penting sejarah. Demonstrasi besar yang berlangsung sejak April 1886 didukung oleh sekitar 250 ribu buruh. Dalam jangka waktu dua minggu eskalasi massa menjadi sekitar 350 ribu buruh. Jantung gerakan berada di Kota Chicago diikuti oleh sekitar 90 ribu buruh. Di New York, demonstrasi yang sama diikuti oleh sekitar 10 ribu buruh, Detroit diikuti 11 ribu buruh. Gelombang demonstrasi menjalar ke berbagai kota seperti Louisville dan Baltimore.

 Tanggal 1 Mei tahun 1886, sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat berunjuk rasa besar-besaran menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari. Ratusan ribu kelas pekerja di AS yang berkeinginan kuat menghentikan dominasi kelas borjuis, bergabung dengan organisasi pekerja Knights of Labour. Serikat pekerja tersebut merupakan salah satu pusat pengorganisiran serikat-serikat pekerja AS yang cukup besar. Gerakan serikat pekerja di kota ini sangat dipengaruhi ide-ide International Workingsmen Association.

Demonstransi tersebut berlangsung selama 4 hari. Demonstrasi bergerak dari Maine ke Texas, kemudian ke New Jersey seterusnya ke Alabama diikuti oleh setengah juta buruh di negeri Amerika Serikat. Jumlah massa yang sangat besar tersebut membuat aktifitas ekonomi lumpuh dan memancing kepanikan kalangan pengusaha dan pejabat pemerintahan setempat saat itu. Melalui Chicago’s Commercial Club, dikeluarkan dana sekitar US$2.000 untuk membeli peralatan senjata mesin guna menghadapi demonstrasi.

Puncaknya tanggal 3 Mei 1886, Demonstrasi damai menuntut pengurangan jam kerja itu pun berakhir dengan kerusahan dan memakan korban. Pemerintah mengutus sejumlah polisi untuk meredam pemogokan pekerja di pabrik McCormick. Polisi dengan membabi-buta menembaki pemogok yang berhamburan, pada saat kejadian ini terdapat empat orang tewas dan jauh lebih banyak lagi luka-luka. Kejadian tersebut menimbulkan amarah di kalangan kaum buruh, sebagian menganjurkan supaya mereka membalas dengan mengangkat senjata. Sejumlah kaum anarkis yang dipimpin Albert Parsons dan August Spies, juga merupakan anggota aktif Knights of Labour, menyerukan kepada kelas pekerja agar mempersenjatai diri dan berpartisipasi di dalam demonstrasi keesokan hari. Pertemuan di hari berikut, 4 Mei 1886, berlokasi di bunderan lapangan Haymarket, para buruh kembali menggelar aksi mogoknya dengan skala yang lebih besar lagi, aksi ini jaga ditujukan sebagai bentuk protes tindakan represif polisi terhadap buruh.

Semula aksi ini berjalan dengan damai. Karena cuaca buruk banyak partisipan aksi membubarkan diri dan kerumunan tersisa sekitar ratusan orang. Pada saat, 180 polisi datang dan menyuruh pertemuan dibubarkan. Ketika pembicara terakhir hendak turun mimbar, menuruti peringatan polisi tersebut, sebuah bom meledak di barisan polisi. Satu orang terbunuh dan melukai 70 orang diantaranya. Polisi menyikapi ledakan bom tersebut dengan menembaki kerumunan pekerja yang berkumpul, sehingga 200 orang terluka, dan banyak yang tewas.
Polisi menembaki para buruh 
Meskipun tidak jelas siapa yang melakukan pelemparan bom, media massa dan politisi borjuis mulai melemparkan tuduhan-tuduhan bahwa ledakan tersebut merupakan ulah kaum sosialis dan anarkis. Mereka menyerukan ‘sebuah balas dendam yang pantas kepada kaum radikal.’ Setiap tempat pertemuan, sekretariat serikat pekerja, tempat cetak, serta rumah pribadi para aktifis diserang polisi. Setiap tokoh sosialis dan anarkis ditangkap. Bahkan individu-individu yang sama sekali tidak memahami apa itu sosialisme dan anarkisme, ditahan dan disiksa. Julius Grinnell, Jaksa Penuntut Umum kota tersebut, menyuruh kepolisian ‘melakukan penyergapan terlebih dahulu baru kemudian mempertimbangkan pelanggaran-pelanggaran hukumnya’. Delapan dari tokoh anarkis yang aktif di Chicago, dituntut dengan tuduhan pembunuhan terencana. Mereka adalah August Spies, Albert Parsons, Adolph Fischer, George Engel, Fielden, Michael Schwab, Louis Lingg dan Oscar Neebe.
ilustrasi pada saat eksekusi gantung dilakukan 
Pengadilan spektakuler kedelapan anarkis tersebut adalah salah satu sejarah buram lembaga peradilan AS yang sangat dipengaruhi kelas borjuis Chicago. Pada 21 Juni 1886, tanpa ada bukti-bukti kuat yang dapat mengasosiasikan kedelapan anarkis dengan insiden tersebut (dari kedelapan orang, hanya satu yang hadir. Dan Ia berada di mimbar pembicara ketika insiden terjadi), pengadilan menjatuhi hukuman mati kepada para tertuduh. Pada 11 November 1887, Albert Parsons, August Spies, Adolf Fischer, dan George Engel dihukum gantung. Louise Lingg menggantung dirinya di penjara.

Delapan orang pemimpin buruh yang didakwa dan dijatuhi hukuman mati adalah :
1. August Spies, imigran berkebangsaan Jerman, tewas digantung
2. Albert Parsons, warga A.S., tewas digantung
3. Adolph Fischer, imigran berkebangsaan Jerman, tewas digantung
4. George Engel, imigran berkebangsaan Jerman, tewas digantung
5. Louis Lingg, imigran berkebangsaan Jerman, bunuh diri dengan menggunakan dinamit saat berada di dalam penjara
6. Michael Schwab imigran berkebangsaan Jerman, diberi keringanan hukuman dari hukuman mati menjadi hukuman kurungan penjara seumur hidup, kemudian diampuni pada tahun 1893
7. Samuel Fielden imigran berkebangsaan Inggris, diberi keringanan hukuman dari hukuman mati menjadi hukuman kurungan penjara seumur hidup, kemudian diampuni pada tahun 1893
8. Oscar Neebe warga A.S. keturunan Jerman, dihukum 15 tahun penjara kemudian diampuni pada tahun 1893.

Sekitar 250.000 orang berkerumun mengiringi prosesi pemakaman Albert Parsons sambil mengekspresikan kekecewaan terhadap praktik korup pengadilan AS. Kampanye-kampanye untuk membebaskan mereka yang masih berada di dalam tahanan, terus berlangsung.

Pada Juni 1893, Gubernur Altgeld, yang membebaskan sisa tahanan peristiwa Haymarket, mengeluarkan pernyataan bahwa, “mereka yang telah dibebaskan, bukanlah karena mereka telah diampuni, melainkan karena mereka sama sekali tidak bersalah.” Ia meneruskan klaim bahwa mereka yang telah dihukum gantung dan yang sekarang dibebaskan adalah korban dari ‘hakim-hakim serta para juri yang disuap.’ Tindakan ini mengakhiri karier politiknya.
Namun kaum buruh tidak menyerah dan pada tahun 1888 kembali melakukan aksi dengan tuntutan yang sama. Selain itu, juga memutuskan untuk kembali melakukan demonstrasi pada 1 Mei 1890. Hal itupun berlangsung hingga kini, para buruh menganggap May Day adalah momentum perjuangan kelas mereka untuk menuntut hak-hak yang digadaikan. Satu Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Konggres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk, selain memberikan momen tuntutan delapan jam sehari, tanggal tersebut menggambarkan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut.

Pada bulan Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi berisi: Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis. Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890, tanggal 1 Mei, yang diistilahkan dengan May Day, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka.

Meskipun begitu, komitmen Internasional Kedua kepada tradisi May Day diwarisi dengan semangat berbeda. Kaum Sosial Demokrat Jerman, elemen yang cukup berpengaruh di Organisasi Internasional Kedua, mengirim jutaan pekerja untuk mati di medan perang demi ‘Negara dan Bangsa.’ Setelah dua Perang Dunia berlalu, May Day hanya menjadi tradisi usang, di mana serikat buruh dan partai Kiri memanfaatkan momentum tersebut demi kepentingan ideologis. Terutama di era Stalinis, di mana banyak dari organisasi anarkis dan gerakan pekerja radikal dibabat habis di bawah pemerintahan partai komunis. Hingga hari ini, tradisi May Day telah direduksi menjadi sekadar ‘Hari Buruh’, dan bukan lagi sebuah hari peringatan kelas pekerja atau proletar untuk menghapuskan kelas dan kapitalisme.

Tahun 1919, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) melalui Konvensi ILO no. 01 tahun 1919 dan Konvensi no. 47 tahun 1935 menetapkan delapan jam/hari atau 40 jam/minggu (lima hari kerja) telah ditetapkan menjadi standar perburuhan internasional oleh ILO. Ditetapkannya konvensi tersebut merupakan suatu pengakuan internasional yang secara tidak langsung merupakan buah dari perjuangan kaum buruh se-dunia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Penetapan 8 jam kerja per hari sebagai salah satu ketentuan pokok dalam hubungan industrial perburuhan adalah penanda berakhirnya bentuk-bentuk kerja-paksa dan perbudakan yang bersembunyi di balik hubungan industrial.

II. Sejarah Gerakan Buruh di Indonesia
A. Zaman Pra Kemerdekaan 
Serikat buruh pertama di Jawa didirikan tahun 1905 oleh pekerja kereta api dengan nama SS Bond (Staatspoorwegen Bond). Kepengurusan organisasi ini sepenuhnya dipegang oleh orang-orang Belanda. Pada tahun 1910, orang-orang pribumi menjadi mayoritas anggota (826 dari 1.476 orang). Walaupun demikian, pekerja pribumi tetap tidak memiliki hak pilih atau suara dalam organisasi. Serikat buruh ini tidak pernah berkembang menjadi gerakan yang militan dan berakhir pada tahun 1912.

Pada tahun 1908 muncul serikat buruh kereta api yang lain, dengan naman Vereeniging van Spooor-en Tramweg Personeel in Nederlandsch Indie (vstp). Serikat ini memiliki basis yang lebih luas ketimbang SS Bond, Karena melibatkan semua buruh tanpa membedakan ras, jenis pekerjaan, dan pangkat dalam perusahaan. Organisasi ini berkembang menjadi militan, terutama sejak 1913, ketika berada di awah pimpinan Semaun dan Sneevliet. Kedua tokoh itu juga tercatat sebagai tokoh gerakan radikal di Jawa pada masa selanjutnya, dan sampai tahun 1920-an, nama-nama mereka masih sering terdengar di kalangan pergerakan.
Semaoen 

Selain kedua serikat buruh ‘pelopor’ ini, masih ada sejumlah organisasi buruh yang lain, seperti Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB), yang didirikan pada tahun 1912; kemudian Opium Regiebond, yang didirikan oleh buruh-buruh pabrik opium pada tahun 1915; Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB), pada tahun 1916, di bawah pimpinan R. Sosrokardono; Vereeniging Inlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken (VIP-BOW), pada tahun 1916, yang didirikan oleh buruh-buruh pribumi pada dinas pekerjaan umum (seperti PU sekarang), Personeel Fabriks Bond (PFB) pada tahun 1919 di bawah pimpinan R. Mo. Surjopranoto; Sarekat Boeroeh Onderneming (SBO), pada tahun 1924 untuk buruh-buruh perkebunan; Serikat Sekerdja Pelaboehan dan Pelajaran, dan sejumlah serikat buruh lain dari bidang pertambangan, percetakan, listrik, industri minyak, sopir, penjahit, dan sebagainya. Pada tahun 1920 telah tercatat ada sekitar seratus serikat buruh dengan 100. 000 anggota. Bertambahnya jumlah anggota dan serikat buruh dalam waktu relatif singkat, harus dikaitkan dengan aksi-aksi propaganda yang dibuat oleh para aktivis melalui pamflet, selebaran dan surat kabar. Rapat-rapat umum yang dihadiri oleh orang banyak juga sering diadakan oleh para aktivis untuk mendapat dukungan.

Pada zaman ini, VSTP tetap menjadi serikat buruh yang memiliki anggota paling banyak, dan terhitung penting serta militan. Di bawah pimpinan Semaun, serikat buruh ini terus memperjuangkan kepentingan kaum buruh, seperti pembelaan hak-hak buruh, memperbaiki kondisi kerja dan sebagainya. Dalam usahanya itu, Semaun membuat sebuah ‘buku panduan’ bagi para aktivis gerakan buruh di Hindia. Para pemimpin VSTP ini, kemudian dengan sejumlah tokoh sosialis lainnya mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV).

Tokoh-tokoh yang tidak setuju dengan gagasan ini kemudian membentuk Indische Sociaal-Democratische Partij (ISDP) pada tahun 1917. ISDV ini kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920. Uraian ini setidaknya dapat memperlihatkan bahwa gerakan buruh di Indonesia sejak awal tidak terpisahkan dari aktivitas politik, bahkan bisa dibilang muncul secara bersamaan. Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah munculnya suratkabar sebagai orgaan (corong) masing-masing organisasi. Pada dekade 1920-an tercatat bahwa di setiap kota besar, ada penerbitan surat kabar, baik sebagai corong organisasi tertentu, maupun tidak. Kehidupan pers pada masa tersebut relatif bebas, karena untuk menerbitkan surat kabar, tidak diperlukan izin khusus dari Pemerintah Hindia Belanda, sehingga sebaliknya pemerintah tidak dapat melakukan pembredelan. Penerbitan surat kabar menjadi elemen yang penting dari gerakan buruh, karena masing-masing organisasi dapat mengemukakan pandangan mereka serta melakukan perdebatan melalui sarana ini.

 Para aktivis umumnya mengandalkan surat kabar baik sebagai sarana perdebatan sesama aktivis maupun untuk mengkritik sejumlah kebijaksanaan pihak pengusaha dan negara. Sarekat Islam dan ISDV adalah dua organisasi yang mendominasi kehidupan politik pada awal abad XX. Tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Sosrokardono, Surjopranoto, Semaun dan lainnya juga menjadi aktivis kedua organisasi tersebut. Di antara cabang-cabang SI yang terkenal militan adalah SI Semarang. Pada masa itu masih dibolehkan keanggotaan ganda, sehingga Semaun misalnya, sekaligus menjadi anggota dari Sarekat Islam, ISDV dan VSTP. Keanggotaan ganda seperti ini pada masa selanjutnya membawa persoalan juga, sehingga mulai diperkenalkan adanya displin partai, yang mengharuskan anggotanya memilih salah satu organisasi saja. Pada bulan Desember 1919 diadakan konferensi serikat buruh di Jawa, dan sebagai hasilnya muncul Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB) yang menjadi badan sentral organisasi buruh yang ada. Badan ini dipimpin oleh Semaun sebagai ketua, Suryopranoto sebagai wakil, dan H. A. Salim sebagai Sekretaris. Organisasi ini terhitung sebagai federasi serikat buruh pertama di tanah Hindia. Konflik di dalam PPKB antara golongan kiri dan Islam –atau lebih tepat antara SI dan ISDV/ PKI tidak dapat dihindari dan terjadi perpecahan.

 Golongan kiri meninggalkan PPKB dan mendirikan Revolutionair Vakcentrale (RVC). Federasi serikat buruh ini terdiri dari 14 organisasi, termasuk VSTP. Serikat buruh lainnya seperti PPPB, PFB, dan VIP-BOW, tetap bergabung dalam PPKB. Perpecahan ini tidak berlangsung lama karena masing-masing pihak merasakan perlunya sebuah organisasi pusat yang kuat untuk membela kepentinga kaum buruh. Pada bulan September 1922, kedua federasi itu bergabung kembali di bawah naungan Persatoean Vakbonden Hindia (PVH).

Pada tahun 1922, PVH menyatakan bahwa anggotanya terdiri atas 18 serikat buruh dengan anggota 32.120 buruh. Aksi-aksi yang dilakukan gerakan buruh pada masa ini, amat beragam. Pada masa 1920-23, aksi pemogokan berlangsung di berbagai tempat. Pemogokan besar terjadi pada tahun 1920, yang dilakukan oleh PFB. Buruh-buruh industri gula melalui organisasi ini menuntut kenaikan upah. Pada bulan Agustus, PFB mengumumkan bahwa akan terjadi pemogokan besar kepada pihak pengusaha. Walaupun mereka telah memberikan ultimatum, pihak pengusaha mengabaikan tuntutan mereka, sehingga pemogokan tetap berlangsung. Gubernur Jendral cepat mengambil tindakan, dengan melarang kegiatan pemogokan itu. Ia menuduh bahwa PFB melakukan pemogokan itu bukan untuk menuntut perbaikan kondisi kerja, melainkan memiliki ‘maksud-maksud politik’. Pemogokan ini berakhir tanpa terjadi perubahan berarti dalam kesepakatan.
Jhon Ingleson dalam bukunya “Tangan dan Kaki Terikat” terbitan komunitas bamboo, Januari 2004, menjelaskan kondisi politik dan serikat buruh pada tahun 1920-an sampai dengan 1930-an. Dalam bukunya, John menleaskan: Pemimpin serikat buruh menghadapi pertanyaan fundamental. Haruskah mereka membatasi aktifitas mereka pda urusan industrial-upah dan kondisi kerja, praktek kecurangan, kesahatan dan isu keamanan, sehingga bisa meminimalkan resiko sikap represif pemerintah? Ataukah harus mencari usaha mengintegrasikan gerakan buruh kedalam gerakan politik nasional. Untuk menguji batas kekuasaan Negara dalam rangka menguatkan gerakan nasional secara keseluruhan?

Sejak pertengahan 1921 terjadi resesi ekonomi di Hindia Belanda, dan hal itu ditanggapi oleh pihak pengusaha dengan menurunkan tingkat upahnya. Di Surabaya pada tahun 1921 terjadi pemogokan buruh-buruh pelabuhan. Mereka menuntut kenaikan upah yang dikurangi oleh pihak pengusaha. Buruh-buruh yang umumnya berasal dari Madura tidak mau bekerja sebelum tuntutan mereka dipenuhi. Mereka hanya duduk di sepanjang Kali Mas sambil membicarakan pengurangan upah mereka. Pengusaha kemudian mencari alternatif untuk mengatasi persoalan, tidak dengan menaikkan upah yang dituntut oleh kaum buruh, melainkan mendatangkan tenaga kerja lain dari pedalaman. Buruh yang semula mogok, lalu terpecah dua. Sebagian akhirnya mau kembali bekerja dengan tingkat upah yang ‘disesuaikan’, sedangkan sebagian lainnya tetap tidak mau bekerja. Persoalan akhirnya tidak selesai secara tuntas, walaupun pihak pengusaha mengalami kerugian karena buruh-buruh yang baru didatangkan itu, tidak sekuat buruh-buruh Madura.

Pada bulan Januari 1922 buruh-buruh pegadaian melakukan pemogokan. Ribuan buruh yang terlibat pemogokan ini tidak masuk kerja sebagai ungkapan protes mereka. Pemerintah Hindia Belanda tidak mempedulikan para buruh yang mogok ini, sehingga tidak ada penyelesaian. VSTP dan RVC sementara itu mendukung para pelaku aksi mogok ini dengan melakukan kampanye pengumpulan dana. Dalam kongres PVH bulan Desember 1922, pemogokan umum menjadi bahan pembicaraan yang penting. Persetujuan terhadap rencana ini tidak datang dengan cepat, sehingga Semaun kemudian mengambil keputusan mengadakan pemogokan buruh melalui VSTP. Kemudian pada tahun 1923, pemogokan buruh kereta api pun terjadi, sehingga lalulintas Jawa terganggu sama sekali. Pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan keras, dengan menangkap seluruh pemimpin pemogokan, serta melarang organisasi tersebut mengadakan pertemuan. Semua propaganda yang dilakukan aktivis buruh, dianggap sebagai tindakan kriminal. Para aktivis PKI sementara itu terus melakukan aksi-aksi propaganda. Pada tahun 1925 terjadi pemogokan-pemogokan di hampir semua intansi penting tingkat lokal.

Pada bulan Agustus 1925 terjadi pemogokan di pelabuhan Semarang. Sebelumnya setahun penuh, SPPL telah mengorganisir buruh-buruh pelabuhan. Walau demikian, pemogokan tersebut tak dapat dikatakan sepenuhnya dijalankan berkat agitasi dan propaganda SPPL, melainkan karena ada tuntutan dari kaum buruh sendiri untuk menaikkan tingkat upah. Kondisi kerja dan pemukiman buruh pada masa itu amat buruk dan tidak memadai. Gubuk-gubuk yang membentuk kampung menjadi hunian sementara, dalam lingkungan yang sangat buruk — sekalipun dalam ukuran zaman itu. Berbagai laporan pemerintah kolonial menunjukkan bahwa pemukiman menjadi salah satu persoalan utama, bukan hanya bagi buruh, tapi juga bagi perkembangan kota Semarang sendiri. Aksi pemogokan ini dilakukan oleh para pelaut dan buruh-buruh kapal lainnya. Di antara bidang-bidang pekerjaan yang berbeda ini, timbul semacam solidaritas. Misalnya, ketika para pelaut melakukan pemogokan, tidak seorangpun di antara buruh lainnya yang datang menggantikan, sekalipun sanggup. Justru mereka memilih ikut mogok bersama. Reaksi pihak pengusaha cukup keras — walaupun dalam pemogokan ini pihak buruh tidak melakukan perusakan atau sabotase. Perusahaan itu mengerahkan polisi untuk memeriksa perahu-perahu dan kapal yang biasa dijalankan oleh buruh. Para manajer perusahaan (orang-orang Belanda) diberi penjagaan khusus untuk menghindari tindak kekerasan.

Dalam sebuah penelitiannya, John Ingleson, seorang sarjana Australia yang mempelajari sejarah gerakan buruh di Hindia Belanda, memperlihatkan bahwa kebanyakan pemogokan pada periode 1918-1926 disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang amat buruk. Memang benar bahwa orang-orang komunis memegang peranan besar dalam menggalang kekuatan kaum buruh dalam organisasi, tapi tak dapat dilupakan bagaimana kondisi kerja yang buruk juga mengizinkan buruh untuk melakukan aksi-aksinya. Pemerintah Hindia Belanda yang amat reaksioner di masa itu, tidak bertentangan dengan pengusaha yang melakukan eksploitasi.

Walaupun negara kolonial tidak dikendalikan oleh kelas tertentu, kepentingan mereka agaknya masih bersambungan. Sejak Desember 1925, pengorganisasian buruh di perkotaan semakin sulit. Kebanyakan serikat buruh tidak berjalan dengan baik karena pemimpin-pemimpin mereka banyak yang berada di penjara atau pengasingan. Para aktivis setempat umumnya kehilangan pekerjaan, atau sangat khawatir bahwa mereka akan mengalaminya. Mereka kemudian cenderung bekerja dengan tenang, dan dengan sendirinya menyampingkan kegiatan organisasi. Sejumlah pemogokan tetap dilakukan, dan sifatnya lebih spontan, karena ada persoalan-persoalan lokal, seperti upah yang tidak terbayar. Hal ini dapat ditemui di pelabuhan, tempat percetakan, dan pabrik.

Setelah dikalahkannya pemogokan buruh di Surabaya di bulan Desember 1925, fase pertama gerakan buruh di Indonesia berakhir. Serikat-serikat buruh tetap berdiri, walaupun kehilangan banyak aktivisnya. Pada tahun 1926 terjadi aksi-aksi perlawanan di seluruh Jawa dan bagian Barat Sumatra. Aksi-aksi itu mendapat dukungan terutama dari PKI dan organisasi-organisasi radikal lainnya. Pemerintah Hindia Belanda menumpas gerakan itu dengan kekerasan, dengan hasil ratusan orang terbunuh, dan ribuan lainnya ditangkap dan dibuang ke luar Jawa. Tempat pembuangan yang kemudian terkenal adalah Tanah Merah di Nieuw Guinea (Irian Jaya pada masa sekarang). Keadaan tempat pembuangan tersebut amat buruk, dan belum pernah dihuni manusia sebelumnya. Orang-orang buangan dipaksa membuat sendiri tempat tinggal mereka di tengah hutan dan rawa. Penyakit yang paling sering muncul adalah malaria hitam yang mematikan.

Sejumlah tokoh pergerakan seperti penyair aktivis Mas Marco Kartodikromo, Najoan dan Ali Archam meninggal di tempat ini. Pemerintah Hindia Belanda menuduh bahwa gerakan itu didalangi oleh orang-orang komunis dengan dukungan Komintern. Dengan tindakan pembuangan ini, pemerintah Hindia Belanda telah berhasil menumpas pergerakan radikal di Jawa dan menyingkirkan tokoh-tokohnya yang paling berpengaruh, sehingga tidak dapat mengadakan kontak dengan mereka yang terus bergerak. Setelah peristiwa 1926 ini, organisasi seperti PVH tidak lagi terdengar, begitu pula dengan VSTP, PFB dan lainnya. Hilangnya tokoh-tokoh radikal itu amat berpengaruh pada perkembangan gerakan buruh di Jawa. Tokoh gerakan buruh yang masih bertahan tidak lagi dapat menggunakan cara-cara seperti sebelumnya, karena sejak 1927 pemerintah Hindia Belanda melakukan tekanan terhadap gerakan-gerakan radikal. Beberapa tokoh kritis di Belanda sendiri, menilai tindakan negara Hindia Belanda sudah menjurus pada fasisme.

Pada bulan Juli 1927, buruh kereta api mendirikan Perhimpoenan Beambte Spoor dan Tram (PBST) yang dalam beberapa bulan saja berhasil menghimpun sekitar 5.000 buruh. Sejumlah organisasi yang sudah ada sebelum 1926, kembali digerakkan secara bertahap, walaupun kekuatannya lebih lemah jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada tanggal 8 Juli 1928, didirikan Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI) di Surabaya, yang beranggotakan beberapa serikat buruh lokal. Organisasi yang diketuai Marsudi ini dengan cepat dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai ‘komunis’ — sama pemerintah Orde Baru menuduh aktivis buruh di zaman sekarang sebagai ‘PKI’ atau ‘keturunan PKI’. Organisasi ini berkembang cepat sampai ke Medan, yang dipimpin oleh Mr Iwa Kusumasumantri.

Pada tanggal 1 April 1929 SKBI bergabung dalam Liga Menentang Kolonialisme dan Penindasan yang dikoordinir oleh Internasionale Ketiga (Komintern). Kecurigaan pemerintah memuncak, dan pada tahun 1929 mereka menggeledah kantor-kantor pusat organisasi ini dan menangkap semua pimpinannya, yang kemudian dibuang ke Boven Digoel tanpa pemeriksaan sebelumnya. Pada bulan April 1930 sejumlah serikat buruh yang bekerja pada kantor-kantor pemerintah, kembali membuat federasi serikat buruh dengan nama Persatoean Vakbond Pegawai Negeri (PVPN). Sementara itu di perusahaan-perusahaan swasta kaum buruh kembali bergabung di bawah naungan Persatoean Sarekat Sekerdja (PSSI), yang dibentuk beberapa bulan setelah PVPN.

Kedua organisasi ini menjadi pimpinan gerakan buruh pada masa setelah 1926, dan tidak melakukan kegiatan atau aksi yang berarti. PVPN misalnya sama sekali tidak melakukan pembicaraan politik dan bergabung dengan federasi serikat buruh internasional pada tahun 1931. PSSI sendiri, walaupun memiliki organisasi yang baik, tidak melibatkan mayoritas buruh yang tidak memiliki organisasi. Kecurigaan pemerintah Hindia Belanda terus berlangsung terhadap gerakan buruh ini, dan dengan mudah mereka dapat melakukan penangkapan tokoh-tokoh yang kemudian dibuang ke luar Jawa. Depresi 1929 membawa pengaruh yang cukup besar pada perkembangan gerakan buruh. Kesulitan ekonomi mengakibatkan para pengusaha mengambil jalan pintas, yaitu memecat buruh-buruhnya. Hal ini dengan sendirinya berpengaruh kepada keanggotaan serikat buruh yang ada. PVPN misalnya, pada tahun 1933 kehilangan sekitar 8.000 anggotanya.

Banyak organisasi yang bernaung di bawah federasi ini mati di tengah jalan. Dalam masa resesi, hanya golongan Tionghoa yang berhasil mencatat sejumlah kemajuan. Di beberapa kota besar, seperti Semarang, Jakarta dan Bandung, mereka berhasil mendirikan Perkoempoelan Kaoem Boeroeh Tionghoa (PKBT) dan Serikat Boeroeh Tionghoa (SBT). Dalam sebuah konperensi tanggal 25 Desember 1933, mereka mendirikan Federasi Kaoem Boeroeh Tionghoa (FKBT). Kedatangan Direktur ILO, Harold B Butler pada bulan Oktober 1938 sebenarnya membawa banyak harapan, tapi seperti yang diamati kemudian, tidak terjadi kemajuan yang berarti.

Rencana pembentukan partai politik menjelang tahun 1938 menjadi pembicaraan yang hangat. Sebagian orang yang merasa bahwa perlunya didirikan sebuah partai untuk membela kepentingan buruh mendirikan Indische Partij van Werknemers. Pada tanggal 7 Oktober 1938 di Jakarta. Alasan pendirian partai ini, dalam rapat pelantikan disebutkan bahwa hasil organisasi yang kuat untuk memberi dukungan kepada gerakan buruh. Di samping itu IPVW juga bertujuan memberantas pengangguran serta kesulitan-kesulitan lain dalam memajukan industri rakyat. Munculnya partai ini tidak serta merta diterima oleh serikat-serikat buruh yang ada. Pada masa pendudukan Jepang, seperti diketahui, terjadi kemacetan dalam bidang politik. Pemerintah militer Jepang melarang semua kegiatan politik, kecuali beberapa lembaga yang didirikan secara khusus untuk kepentingan mereka.

Gerakan buruh secara umum mengalami kemacetan, hanya sejumlah tokoh yang tetap aktif, dan itu pun bukan dalam kegiatan serikat buruh. Banyak di antara mereka bergabung dengan kegiatan bawah tanah yang tersebar di Jakarta dan Jawa Timur. Hal yang penting untuk dicatat dari gerakan buruh di zaman kolonial, adalah kenyataan bahwa gerakan tersebut tak pernah terlepas dari kegiatan politik. Artinya begini, pada masa sebelum 1927, gerakan buruh jelas memiliki persekutuan dengan kegiatan politik, seperti VSTP yang berhubungan erat dengan ISDV dan PKI. Begitu pula dengan serikat-serikat buruh lainnya. PPKB sendiri sebagai federasi gerakan buruh yang pertama di Hindia, merupakan hasil pergolakan politik, dan tidak muncul begitu saja. Pada masa setelah tahun 1927, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap dunia pergerakan (melalui pelarangan, penangkapan, pembuangan, pembunuhan dan sebagainya) mengakibatkan munculnya organisasi buruh yang lebih moderat ketimbang masa sebelumnya.

Dibuangnya sejumlah tokoh radikal tentu berpengaruh besar terhadap perkembangan sosial-politik di Hindia. Hal ini membuktikan bahwa kepentingan negara dan modal di satu pihak, selalu berhadapan dengan kepentingan masyarakat yang merupakan mayoritas. Pada masa 1927-1942 negara berhasil menancapkan kembali dominasinya dalam kehidupan sosial politik yang semula ‘terganggu’ dengan adanya gerakan buruh yang radikal tersebut.

B. PERIODE 1945-1965
Gerakan buruh setelah pemberontakan PKI dan ditangkapnya Bung Karno pada tahun 1930-an nyaris tak terdengar, dimasa-masa ini pula muncul generasi baru yang lahir pada tahun 1920-an awal dan bersemi antara tahun 1941-1949 menjadi kalangan kelas menengah namun menjadi agen intelektual atas gerakan-gerakan buruh dalam masa revolusi kemerdekaan 1945-1949. Perjuangan Buruh di mata Soekarno

Bung Karno mengatakan “Nasib kaum buruh tidak bisa langsung diperbaiki selama stelsel (sistem) kapitalisme masih merajalela,”. Tanpa menghancurkan kapitalisme, kaum buruh tidak bisa memperbaiki hidupnya 100%. Bung Karno menolak mimpi “hangat-hangat bersarang di dalam kapitalisme”. Tidak mungkin kaum buruh bisa menikmati kesejahteraan di bawah sistem yang menghisap. Dalam relasi produksi kapitalis, ada pertentangan tak terdamaikan antara kapitalis dan pekerja. Di satu sisi, si kapitalis—pemilik kekayaan dan alat produksi material—punya orientasi menumpuk kekayaan. Untuk itu, si kapitalis membeli komoditi untuk lebih banyak uang, nilai tambah, dan nilai surplus. Pada intinya, mereka harus mencetak untung (profit). Di sisi lain, ada klas pekerja—mereka yang tak mempunyai alat produksi material yang diperlukan untuk kebutuhan mereka. Karena tidak punya alat produksi, mereka menjual satu-satunya yang mereka punyai, yakni kemampuan bekerja.

 Menurut Bung Karno, perjuangan politik paling minimum, serendah-redahnya imam politik, adalah mempertahankan “politieke toestand”—nasib politik, yakni sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat. Politieke toestand ini penting bagi gerakan buruh. Dengan adanya situasi politik yang relatif terbuka, kaum buruh punya ruang untuk mendirikan serikat buruh secara legal, punya hak untuk mogok, dan melancarkan protes. Pendek kata, politieke toestand ini memberikan ruang bagi buruh untuk melawan dan berjuang lebih tinggi lagi. Karena itu, Bung Karno selalu menganjurkan, serikat buruh paling minimal harus memperjuangkan syarat-syarat politik yang memungkinkan baginya untuk melawan dan memperjuangkan nasibnya. “Subur dan kuatnya serikat buruh tergantung pada keadaan politik,” tegasnya.

Bung Karno menolak politik meminta-minta, yakni politik gerakan buruh yang menyandarkan nasibnya pada kebaikan pengusaha. Ini sama dengan politik mengemis perbaikan nasib. Bung Karno yakin, perbaikan nasib bagi kaum buruh, termasuk kenaikan upah dan pengurangan jam kerja, hanya mungkin terjadi bila gerakan buruh punya kekuatan atau daya tekan untuk memaksa pengusaha. Tanpa melakukan desakan yang kuat, pengusaha akan bergeming. Untuk itu, gerakan buruh harus melakukan machtsvorming, yakni proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan. Machtsvorming itu dilakukan melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat-serikat buruh, menggelar kursus-kursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan koperasi-koperasi buruh, dan lain-lain sebagainya.
Bung Karno Pada Rapat Buruh 1 Mei 1946 (Sumber : Koran Merdeka, 1946) 

Gerakan buruh menjadi terdengar gaungnya ketika terjadi perebutan massa buruh oleh kekuatan-kekuatan politik di sekitar revolusi 1945. Pada 1 Mei 1946, gerakan buruh didekati kelompok pemegang kekuasaan Perdana Menteri Sjahrir untuk dimasukkan ke dalam barisan Partai Sosialis, saat itu Sjahrir masih akur dengan Amir Sjarifuddin dan membentuk Partai Sosialis yang memegang jalannya pemerintahan.

Di pihak lain kelompok Tan Malaka amat ingin sekali buruh masuk ke dalam garis perdjoangan mereka, kelompok Tan Malaka tak ingin kaum buruh masuk ke dalam kelompok pemerintah yang cenderung lebih kepada perdjoangan diplomasi, pada tahun 1946 tren diplomasi sudah ditengarai oleh Tan Malaka salah satunya adalah sikap begitu kompromisnya Sjahrir pada Inggris, Tan Malaka menghendaki tanpa kompromi perang dengan seluruh pasukan asing apapun alasannya dan menguasai seluruh perkebunan-perkebunan dan kilang. Sjahrir dan Amir lalu memamerkan penguasaan kekuatan buruh mereka pada 1 Mei 1946, gerakan buruh 1 Mei 1946 sesungguhnya merupakan gerakan tandingan atas aksi Rapat Ikada 17 September dimana rapat raksasa itu adalah mainan dari kelompok Tan Malaka dan menjadi gema atas kekuatan rakyat paling spektakuler pada masa awal revolusi, kelompok Sjahrir menjadi gerakan 1 Mei 1946 sebagai bentuk kekuatan massa milik mereka di depan kelompok oposisi.
Amir Sjarifuddin dari Partai Penguasa Mampu Show Force 
atas Kekuatan Buruh 1 Mei 1946 di depan oposisi-nya (Sumber Photo : Koran Merdeka, 1946) 

Gerakan buruh di masa Revolusi dan kemudian di masa Sukarno sama sekali tak menjadi kekuatan otentik, mereka tidak mendirikan partainya sendiri, mereka diageni banyak Partai dan banyak kepentingan, sehingga apa yang terjadi dalam dinamika gerakan buruh menjadi bagian dari sejarah Partai Politik bukan lagi sebagai bagian gerakan buruh murni, ini berbeda di lapangan perdjoangan intelektual kelas menengah yang menjadikan gerakan intelektual sebagai gerakan otentik. Perjuangan mencapai kemerdekaan melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat, termasuk gerakan buruh.
Pada tanggal 15 September 1945 sejumlah tokoh gerakan buruh berkumpul di Jakarta untuk membicarakan peranan kaum buruh dalam perjuangan kemerdekaan dan menentukan landasan bagi gerakan buruh. Pada pertemuan tersebut para wakil gerakan buruh sepakat mendirikan sebuah organisasi yang mewakili seluruh serikat buruh yang ada. Organisasi itu diberi nama Barisan Boeroeh Indonesia (BBI). Pilihan nama ‘barisan’ tersebut harus diletakkan pada konteks zamannya, yaitu ketika orang-orang Indonesia masih terlibat dalam perang kemerdekaan sampai tahun 1949. Dalam konferensi tersebut, BBI juga menuntut Komite Nasional Indonesia untuk memberi pengakuan terhadap organisasi tersebut.

Karena sulitnya komunikasi dengan wilayah lain, maka gerakan buruh di luar Jawa mendirikan organisasi mereka masing-masing. Di Sumatra misalnya pada bulan Oktober 1945 telah berdiri Persatoean Pegawai Negara Repoeblik Indonesia (PPNRI). Komite Nasional Indonesia sementara itu juga menyerukan kepada perwakilan-perwakilan di daerah untuk mendukung pembentukan serikat-serikat buruh. Dalam perjuangan fisik, kaum buruh bergabung dalam Lasjkar Boeroeh Indonesia (LBI) yang dengan cepat didirikan di berbagai kota. Pada awalnya belum ada koordinasi yang jelas, sampai pada sebuah konperensi di Blitar pada bulan Desember 1945. Soediono Djojoprajitno terpilih sebagai ketua badan pimpinan. LBI ini juga ditetapkan sebagai badan yang secara organisasi terlepas dari BBI dan tidak memiliki hubungan apa-apa.

Di kalangan buruh perempuan, didirikan Barisan Boeroeh Wanita yang diketuai oleh SK Trimurti. Kegiatannya ditujukan untuk memberi pendidikan dan kesadaran pada kaum buruh perempuan, terhadap perlunya persatuan. Pada tanggal 1 Mei 1946 (Perayaan Hari Buruh), BBW telah berhasil mengumpulkan calon pemimpin buruh perempuan untuk dilatih selama dua bulan. BBI mendapat dukungan kuat dari Menteri Sosial RI yang pertama, Mr Iwa Kusumasumantri. Pada bulan November 1945, BBI mengadakan kongres pertama yang dihadiri bukan hanya oleh aktivis-aktivis BBI dan cabang-cabangnya, tapi juga dari aktivis-aktivis gerakan buruh yang tersebar di Sumatra dan pulau-pulaunya. Sjamsju Harja Udaja, seorang pemimpin BBI, mengajukan rancangan untuk mengubah BBI menjadi partai politik. Rancangan ini mengundang perdebatan di antara para tokoh. Sebagian bertujuan untuk membangun BBI sebagai suatu federasi buruh yang kuat, bebas dari partai-partai politik dan siap menggunakan pengaruhnya terhadap setiap pemerintahan bila perlu. Golongan lainnya, di bawah pimpinan Sjamsju Harja Udaja berusaha untuk menjadikan BBI sebuah partai politik yang menjadi alat politik dari gerakan buruh.

Akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan partai, tanpa harus membubarkan BBI. Partai Boeroeh Indonesia (PBI) muncul sebagai hasil kongres tersebut, dengan Sjamsju Harja Udaja sebagai ketua. Para aktivis yang tidak setuju dengan pembubaran BBI, terus menjalankan kegiatan organisasi ini. Cabang-cabang yang ada diperkuat, dan sangat berpengaruh pada gerakan buruh selanjutnya. Cabang Jakarta misalnya, dipimpin oleh Njono yang pada dekade 1950-an menjadi Sekjen SOBSI. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah bulan Januari 1946 PBI semakin menganggap diri sebagai partai oposisi dan oleh pemerintah diperlakukan seperti yang mereka kehendaki. Dalam kegiatannya, PBI menyebarkan gagasan sindikalis; instalasi industri yang diambilalih oleh buruh harus tetap dipegang oleh buruh, dan bukan oleh pemerintah. Perusahaan harus dijalankan kembali oleh buruh-buruhnya.

Sikap bertentangan ditunjukkan oleh Partai Sosialis yang menguasai kabinet (Sjahrir) dan akibatnya PBI tidak mendapat sambutan luas sebagaimana mereka harapkan sebelumnya. Kelas buruh (industri) pada masa itu masih merupakan bagian kecil saja dari penduduk dan belum terorganisir secara politik, sehingga terlalu kecil untuk menjadi basis politik yang benar-benar kuat. Pada periode-periode 1945-47 sejumlah serikat buruh kembali dibentuk, seperti Serikat Boeroeh Goela (SBG), Serikat Boeroeh Kereta api (SBKA), Serikat Boeroeh Perkeboenan Repoeblik Indonesia (Sarbupri), Serikat Boeroeh Kementrian Perboeroehan (SB Kemperbu), Serikat Boeroeh Daerah Autonom (SEBDA), Serikat Sekerjdja Kementrian Dalam Negeri (SSKDN), Serikat Boeroeh Kementrian Penerangan (SB Kempen), dan sebagainya.

Banyak di antara pemimpin serikat-serikat buruh ini menjadi tokoh gerakan buruh pada masa sebelumnya, dan juga ikut dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan sekian banyak serikat buruh seperti ini, kembali muncul keperluan mendirikan sebuah federasi serikat buruh. Mengenai pembentukan federasi serikat buruh ini muncul perbedaan pendapat, sehingga pada tanggal 21 Mei 1946 didirikan Gaboengan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (GASBI) sebagai hasil peleburan BBI. Perubahan nama ini juga terlihat dalam perubahan bentuknya, karena hanya organisasi yang dibentuk berdasarkan lapangan kerja, yang dapat bergabung di dalamnya. Kenyataan ini sulit diterima oleh organisasi buruh vertikal, seperti SB Minjak, SB Postel, Pegadaian, PGRI, Listrik dan lainnya. mereka kemudian membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Vertikal (GSBV) pada bulan Juli 1946.

‘Perpecahan’ ini tak berlangsung lama dan tanggal 29 November 1946 didirikan Sentral Organisasi Boeroeh Indonesia (SOBSI), yang menggantikan kedua federasi sebelumnya. Organisasi ini dipimpin oleh tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Harjono, Asrarudin, Njono dan Surjono. Organisasi ini juga mendapat dukungan dari sejumlah kekuatan politik seperti Partai Sosialis, PBI, Pesindo, PBI, Barisan Tani yang mendukung pemerintahan Sjahrir di masa itu. Dalam azas pendiriannya dinyatakan bahwa SOBSI bukan partai politik, tapi dalam perjuangannya akan bekerjasama dengan partai-partai politik.
Dasar organisasi yang dipilih SOBSI adalah demokratis-sentralisme, artinya pengurus sentral dalam melakukan tugas-tugasnya bertanggung jawab pada kongres. Federasi ini dengan cepat mendapat sambutan dari serikat-serikat buruh yang lain. LBI yang semula berdiri sendiri, dimasukkan ke dalam SOBSI juga mendapat perhatian, terlihat dari undangan yang dikirim WFTU untuk menghadiri sidang umum di Praha, Cekoslovakia. Sebagai wakilnya, SOBSI mengirim Setiadjid dan Oei Gie Hwat. Pada masa perang, dengan adanya blokade Belanda, maka hubungan badan sentral dengan cabang-cabangnya tidak berjalan dengan lancar. Perpecahan sesudah Perjanjian Renville tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan pendapat dalam garis politik. SOBSI pada dekade 1950-an menjadi federasi serikat buruh terkuat di Indonesia, baik dari segi jumlah maupun aktivitasnya. Golongan yang tidak setuju dengan pemerintahan Sjahrir, membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Revoloesioner Indonesia (GASBRI).

Ketika terjadi Peristiwa Madiun 1948, sejumlah tokoh SOBSI mati ditembak atau ditangkap. Sejumlah tokoh lainnya yang berhasil menyelamatkan diri, terus bergerak, walaupun tidak dapat tampil ke permukaan. 16 serikat buruh yang semula bergabung dengan SOBSI memisahkan diri dari federasi tersebut. Para tokoh yang semula bergabung kembali pada bulan Juli 1949, dan mendirikan Himpunan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (HISSBI), bergabung di bawah Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia (GSBI). HISSBI tidak bertahan lama, dan hilang seiring dengan tampilnya SOBSI ke panggung gerakan buruh Indonesia. Di samping kedua federasi yang besar itu, golongan Islam mendirikan Serikat Boeroeh Islam Indonesia (SBII), tanggal 27 November 1948. Tidak seperti SOBSI, organisasi ini tidak memiliki hubungan yang dekat dengan pemerintah RI. Sementara itu di luar wilayah republik, pada periode 1946-49 terjadi sejumlah perkembangan dalam gerakan buruh. Di Jakarta, didirikan dua buah organisasi buruh yang dikendalikan orang-orang Tionghoa, yaitu Federasi Perkoempoelan Boeroeh Seloeroeh Indonesia (FPBSI), dan Poesat Organisasi Boeroeh (POB).

Sementara itu di beberapa kota pulau Sumatra, organisasi buruh bermunculan, begitu pula di Kalimantan. Di Bogor, didirikan Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia (GABSI), dan di Purwakarta, organisasi sejenis dibentuk dengan nama Ikatan Serikat Boeroeh Indonesia (ISBI). Di Surabaya didirikan Gaboengan Perserikatan Boeroeh Indonesia (GPBI) dan Federasi Boereoh Indonesia (FBI).
Di luar Pulau Jawa, sejumlah organisasi berdiri di Balikpapan, Banjarmasin, Makassar (Ujung Pandang), Pare-Pare, Manado dan lainnya. Begitu banyaknya jumlah organisasi yang tidak jarang mengklaim diri mereka sebagai federasi tentu memiliki alasan tertentu. Perbedaan pendapat mengenai dasar organisasi dan persepsi politik adalah sumber perpecahan yang amat umum. Perpecahan dan penggabungan merupakan pemandangan umum pada masa itu. Kehidupan sosial-politik yang demokratis pada masa pasca-Proklamasi tidak mengizinkan terjadinya tindakan-tindakan sentraisasi yang amat ketat. Semua tindakan yang kelihatan mengarah pada sentralisasi, segera dituding sebagai tindakan yang tidak demokratis dan tidak sejalan dengan perjuangan kepentingan kaum buruh. Walau begitu sulit untuk menilai bahwa masa itu merupakan masa kekacauan, dalam pengertian tidak adanya serikat buruh yang dapat dijadikan pegangan.

Pandangan yang melihat gejala tersebut (sampai tahun 1957) sebagai keruntuhan demoksi, sebenarnya telah melandaskan gagasannya pada perkembangan demokrasi yang terjadi di Barat. Pandangan seperti itu tak dapat dibenarkan, karena cenderung mengabaikan pengalaman historis kelas buruh Indonesia. Buruh yang terlibat dalam organisasi tertentu di tahun 1950-an jumlahnya mencapai antara 3-4 juta orang. Kaum buruh ini bergabung di bawah sekitar 150 serikat buruh nasional, dan ratusan serikat buruh lainnya di tingkat lokal, yang tak memiliki afiliasi di tingkat nasional. Serikat-serikat buruh nasional memiliki jumlah anggota yang beragam. Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) misalnya mengklaim anggotanya sebanyak 600.000 orang.

Sementara serikat buruh nasional seperti Perhimpunan Ahli Gula Indonesia (PAGI) hanya memiliki 600 anggota. Label ‘nasional’ yang dikenakan dengan begitu tidak menjamin jumlah anggota yang banyak. Di antara ratusan serikat buruh itu, dapat dilihat adanya empat federasi serikat buruh yang cukup besar dan tiga federasi yang lebih kecil, serta sejumlah organisasi lainnya yang juga mengklaim dirinya sebagai federasi.

Keempat federasi serikat buruh itu adalah :
DN Aidit 
1. SOBSI dengan anggota sekitar 60% dari seluruh jumlah buruh yang terorganisir. Federasi ini memiliki organisasi yang baik, dan paling efisien dari segi administrasi. Seperti diketahui, federasi ini dibentuk di tahun 1946 ketika Indonesia sedang berada dalam perang kemerdekaan. Kementerian Perburuhan di tahun 1956 menyatakan federasi ini memiliki 2.661.970 anggota. Organisasi ini memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kembali ke panggung politik pada tahun 1951 di bawah pimpinan Dipa Nusantara Aidit. SOBSI terdiri atas 39 serikat buruh nasional dan sekitar 800 serikat buruh lokal. Di antaranya yang cukup penting adalah SBG, Sarbupri, Sarbuksi (Kehutanan), SBPP (Pelabuhan), SBKA, SBKB (Kendaraan Bermotor), SERBAUD (Angkatan Udara), SB Postel, Perbum (Minyak), SBTI (Tambang), SBIM (Industri Metal), SBRI (Rokok), Sarbufis (Film), SBKP (Kementerian Pertahanan), Kemperbu, SBPU (Pekerjaan Umum), SEBDA, dan SBPI (Percetakan). SOBSI juga memiliki afiliasi dengan World Federation of Trade Unions (WFTU). Njono yang menjadi Sekretaris Umum SOBSI juga menjabat sebagai Wakil Presiden WFTU.

2. Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI), yang didirikan pada tanggal 12 Mei 1953 terdiri atas serikat-serikat buruh yang non komunis. Jumlah anggotanya saat pembentukan mencapai 800. 000 orang, tapi segera berkurang seiring dengan terjadinya perpecahan di tingkat kepemimpinannya. Serikat buruh yang menjadi pendukung federasi ini adalah PERBUPRI (perkebunan), PBKA (kereta api), SKBM (minyak), SBP (pertambangan), SBKPM (penerbangan), OBPSI (perniagaan). Organisasi ini tak memiliki afiliasi dengan organisasi buruh internasional, dan amat terbatas kegiatannya pada hal-hal yang berhubungan dengan keadilan sosial.

3. SBII didirikan di bulan November 1948 oleh tokoh-tokoh Partai Islam, Masyumi yang menyadari pentingnya gerakan organisasi buruh sebagai basis pendukung partai. Pada tahun 1956 anggotanya diklaim sebanyak 275.000 orang dari berbagai bidang pekerjaan. Pimpinan SBII ini dipegang oleh Mr. Jusuf Wibisono, anggota Presidium Masyumi dan pernah menjadi Menteri Keuangan. Sesuai dengan nama yang disandang, organisasi ini melandaskan gagasannya pada ajaran-ajaran Quran. SBII ini memiliki afiliasi dengan International Conference of Free trade Unions (ICFTU). Selain itu SBII juga mengadakan kontak dengan gerakan buruh di negara-negara Islam.

4. Kesatuan Buruh Kerakjatan Indonesia (KBKI) didirikan pada tanggal 10 Desember 1952. Organisasi ini semula bernama, Konsentrasi Buruh Kerakjatan Indonesia, dan memiliki hubungan dengan Partai Nasional Indonesia. Dalam salah satu pernyataannya tertulis bahwa organisasi ini bekerja bersama PNI dalam mencapai tujuan-tujuannya. Azas yang melandasi organisasi ini adalah Marhaenisme (ajaran Soekarno). Pada tahun 1955 organisasi ini mengklaim memiliki anggota sebanyak 95.000 orang. KBKI ini juga adalah anggota PNI, dan keberhasilan KBKI dalam menggalang kekuatan (di tahun 1958 ditaksir jumlah anggotanya lebih dari setengah juta orang) tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan PNI. Walaupun berhubungan dengan gerakan buruh di luar negeri, dan turut berpartisipasi dalam aktivitas internasional, KBKI tetap memilih tidak bergabung dengan organisasi internasional.

Masih ada 3 federasi serikat buruh yang lebih kecil, yaitu HISBI yang didirikan di tahun 1952. Organisasi ini didirikan oleh para aktivis gerakan buruh yang dekat dengan tokoh-tokoh partai buruh. Pada tahun 1955, anggotanya mencapai 413. 975 orang. Pada perkembangan selanjutnya seiring dengan keberhasilan KBKI dan SOBSI, jumlahnya terus menurun dan di tahun 1958 tercatat sekitar 50. 000 orang. Federasi lainnya adalah Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI) yang menjadi gerakan buruh dari Partai Murba. Ketika dibentuk di tahun 1951, organisasi ini mengklaim anggotanya mencapai 469. 490 orang. Sama seperti HISBI, organisasi ini juga kalah bersaing dengan SOBSI dan KBKI, sehingga pada tahun 1958 tercatat anggota sebanyak 100. 000 orang. Sjamsu Haja Udaja yang pernah tercatat sebagai aktivis BBI menjadi salah satu pimpinan organisasi ini. SOBRI juga berafiliasi dengan World Federation of Trade Unions (WFTU). Federasi yang terakhir adalah GSBI yang didirikan di bulan September 1949 oleh 19 serikat buruh, termasuk PGRI dan SBDA. GBSI yang semula bergabung di bawah KBSI, kemudian keluar dan tetap bertahan sendiri di bawah Rh. Koesnan. Tahun 1958 tercatat anggotanya sebanyak 36.000 orang.

Di samping itu masih ada beberapa organisasi yang juga berbentuk federasi, dengan skala yang jauh lebih kecil, seperti Gabungan Serikat Sekerdja Pemerintah Daerah Istimewa Djokjakarta (GSSPDIJ). Gabungan Organisasi Buruh Indonesia (GOBI), dan Gabungan Buruh Indonesia (GBI). Pada tahun 1955 kementrian perburuhan membuat semacam catatan yang masukan 67 serikat buruh sebagai organisasi yang independen. Antara lain yang termasuk ke dalam golongan ini adalah PGRI, Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI), Organisasi Buruh Perkebunan Indonesia (OBPI), Serikat Buruh Listrik dan Gas Indonesia (SBGLI), dan lainnya.

Partai-partai politik dalam tahun 1955 juga banyak yang ikut mendirikan serikat-serikat buruh. Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, mendirikan Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI) sebagai serikat buruh vertikal yang bernaung di bawah panji-panji NU. Golongan lain, orang-orang Katolik mendirikan Sentral Organisasi Buruh ‘Pancasila’ yang dalam mukadimahnya menyatakan bahwa organisasi tersebut ‘mempunyai azas Pancasila menurut pengertian Katolik.’ Aktivitas yang dilakukan organisasi-organisasi ini amat beragam.

Bulan November 1957, Penguasa Perang Pusat membentuk Badan Kerdjasama Buruh-Militer, yang bergerak dalam bidang keamanan (Perdjuangan Irian Barat), ekonomi dan sosial. BKS Bu-Mil ini memegang peranan yang penting pada masa penuh kekacauan tersebut. Golongan buruh dan pegawai yang termasuk golongan fungsional dalam Dewan Nasional, memiliki 5 orang wakil (Runturambi dari SOBSI, Soetedjo Dirdjosoebroto dari RKS, Kobarsih dari SOBRI, Iskandar Wahono dan Faturhadi dari KBKI) di Dewan Perantjang Nasional (Depernas), yang seluruhnya berjumlah 17 orang. Dalam Dewan Pertimbangan Agung Sementara, juga terdapat wakil dari golongan fungsional, yaitu Munir dari SOBSI dan Datuk dari KBKI. Pemogokan pada dekade 1950-an juga sering terjadi, umumnya dengan tuntutan kenaikan upah.

Selama periode 1951-60 terjadi 30.538 kasus perselisihan yang sering disertai pemogokan. Pemogokan menjadi senjata ampuh bagi kaum buruh untuk memenuhi keinginannya. Disamping urusan pabrik yang mereka hadapi sehari-hari, kaum buruh juga terlibat dalam aktivitas politik, seperti protes yang mereka lakukan dalam kasus Irian Barat. Sejumlah 1. 031. 038 orang buruh turun melakukan protes pada akhir tahun 1957 sehubungan dengan masalah Irian Barat. Ruang gerak federasi-federasi serikat buruh mulai mendapat tekanan dari pihak militer dengan dijalankannya kebijaksanaan BKS BUMIL. Walau para pemimpin serikat buruh tetap mendominasi namun kerjasama tersebut telah menyebabkan adanya intervensi militer ke dalam tubuh gerakan buruh. Hal ini pada masa sebelumnya belum pernah terjadi.

Pada bulan Juli 1960, Menteri Perburuhan dan sekaligus ketua KBKI, Ahem Erningpraja mengajukan rancangan untuk membentuk Organisasi Persatuan Pekerdja Indonesia (OPPI) yang diharapkan dapat menyatukan gerakan buruh. Rancangantersebut ditolak oleh SOBSI, walau kemudian tetap terbentuk di berbagai daerah dengan dukungan serikat-serikat buruh yang non-komunis dan perwira militer di daerah-daerah. Dalam masalah Irian Barat Menteri Perburuhan membentuk Sekretariat Bersama, yang diwakili oleh SOBSI, KBKI, SARBUMUSI, GASBIINDO, GOSII, dan SOBRI. Badan ini juga membicarakan beberapa masalah lain, seperti memperluas keanggotaan dengan memasukkan Organisasi Karyawan. Di samping itu pemerintah juga mendirikan sebuah lembaga yang merupakan perwakilan pihak pengusaha, yaitu Dewan Prusahaan.

Pada bulan Desember 1962, organisasi yang mendapat dukungan dari kalangan militer ini mengadakan kongres di Jakarta, dan mengubah nama menjadi Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI). Organisasi ini dipimpin oleh Jendral Suhardiman. Perkembangan ini antara lain menunjukkan usaha negara untuk mengambil alih pimpinan gerakan buruh yang selama ini berada di tangan masyarakat. Kebijaksanaan Demokrasi Terpimpin dari Soekarno agaknya juga menjalar ke dalam tubuh gerakan buruh. Peristiwa Gerakan 30 September agaknya bukan cerita yang baru, sehingga saya tidak perlu memberi penjelasan yang mendalam mengenai persoalan ini. Terlepas dari berbagai pendapat yang kadang bertentangan, saya akan lebih mengarahkan perhatian pada apa yang terjadi kemudian, atau peristiwa-peristiwa yang menyusul kejadian tersebut

 C. Orde Baru 
Sejarah Orde Baru mencatat bahwa buruh mengalami politisasi sebagaimana juga dialami oleh kelompok sosial lainnya. Meski mengalami politisasi sebagaimana tercermin dalam kebijakan massa mengambang dalam bentuk wadah tunggal bagi buruh, tetapi buruh mampu melakukan konsolidasi akar rumput sebagai strategi perlawanan ideologis terhadap rezim hegemonik. Dalam era Orde Baru, gerakan buruh, gerakan pers, gerakan mahasiswa maupun gerakan petani mampu menjadi aktor penting dalam gerakan sosial prodemokrasi (Budiman dan Tornsquist, 2001; Uhlin, 1996). Studi-studi tentang aktor gerakan sosial berdasarkan penelusuran dokumen banyak dilakukan terkait dengan tema- tema tentang gerakan buruh (Hadiz, 2000:59, Priyono, 2001:94). Selama Orde Baru, buruh menjadi alat hegemoni demi melanggengkan kekuasaan saat itu.
Soeharto dan Keluarganya 
Selama tiga puluh dua tahun riwayat Soeharto membangun dinasti Orde Baru-nya, di samping dalam persoalan politik, hak-hak sosial-ekonomi buruh juga dikebiri melalui berbagai cara, dari mulai penerbitan peraturan yang tidak berpihak hingga tindakan represi secara langsung. Setiap upaya yang dijalani buruh untuk merebut haknya selalau dihadapi dengan teror, pemenjaraan, hingga penculikan dan pembunuhan. Sejak saat itulah, gerakan buruh dan gerakan rakyat tertindas lainnya yang menuntut pemenuhan hak pada pemerintah, selalu dikaitkan dengan PKI dan komunisme.

Setiap aksi buruh yang berani mengekspresikan ketertindasannya dan mengungkapkan tuntutannya, selalu disudutkan dengan tuduhan sebagai (orang) PKI atau Komunis. Padahal, dibedah dengan teori apapun, adalah suatu kewajaran dan keniscayaan, buruh yang digaji rendah dan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari akan menuntut kompensasi yang sebanding atas tenaga dan pikiran yang telah mereka curahkan dalam proses produksi. Adalah suatu kewajaran dan keniscayaan, saat para petani yang sudah turun-temurun menggarap sawah dan ladang mereka, marah dan melawan, saat mereka hendak digusur dari tanahnya atas nama “sertifikat” yang dimiliki perusahaan perkebunan swasta, perusahaan agraria milik negara, ataupun instansi militer. Adalah suatu kewajaran dan keniscayaan, saat mahasiswa yang mempunyai kapasitas berpikir dan energi yang lebih, menuntut haknya atas pendidikan yang berkualitas dan terjangkau, serta bergabung dengan elemen-elemen rakyat lainnnya, termasuk buruh, untuk bersama-sama berjuang menghancurkan sistem yang menjadi biang atas segala ketidakadilan yang terjadi.

Di zaman Orde Baru, semua aktivitas kristis tersebut selalu divonis dengan tuduhan “subversif” atau “makar”. Padahal, menurut opini-opini kritis yang berkembang, sikap diktator Soeharto tidak terlepas dari mandat para oligarki yang menguasai dunia, yaitu kaum Kapitalis yang saat ini memegang kendali atas negeri-negeri industrial-adikuasa, salah satunya Amerika (serikat). Isu utama dalam era tersebut adalah pengebirian hak-hak berserikat, berbicara di kalangan buruh. Salah satu tumbalnya adalah tragedi Marsinah yang menjadi potret buram kekerasan negara terhadap buruh. Pasca-Orde Baru tumbang, dengan lahirnya era reformasi mendorong munculnya berbagai gerakan serikat buruh Semangat kebebasan berserikat di kalangan buruh menjadi masif dan merupakan sebuah proses penting dalam gerakan buruh Indonesia.
Soeharto 
Di masa Suharto, kemanusiaan buruh menjadi titik paling rendahnya, dalam konferensi di Swiss, dimana Frans Seda, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik melakukan lobi-lobi politik Internasional untuk mendapatkan bantuan keuangan internasional, buruh dimasukkan sebagai free warrant atas garansi instrumen hutang yang diterbitkan pihak Indonesia. Buruh menjadi sumber murah dalam pemanis sebuah investasi, hal ini bahkan lebih keji daripada yang dilakukan Van den Beele, dimana Van den Beele secara gentleman mengakui bahwa buruh diakui sebagai bagian subkontrak kerja.

Kebijakan ‘benda mati buruh’ dalam masa Orde Baru berlangsung terus menerus dan sistematis, kekuatan buruh dihajar habis-habisan, buruh dianggap sebagai bagian dari gerakan politik kiri, bahkan di tahun 1998 saat gerakan reformasi yang digerakkan mahasiswa terjadi kelompok buruh dilarang ikut-ikutan sehingga cap gerakan penggulingan Suharto hanya dilakukan kelompok mahasiswa. Marginalisasi politik kaum buruh kemudian membuat buruh belajar sendiri, bahwa pergerakan mereka tidak membutuhkan agen-agen intelektual kelas menengah, mereka mengorganisir dirinya sendiri, bahkan sekarang kekuatan buruh adalah kekuatan paling terorganisir diantara seluruh kekuatan politik masyarakat yang ada, kekuatan buruh adalah kekuatan raksasa yang tenor perdjoangannya lebih lama ketimbang tenor perdjoangan mahasiswa. Bahkan bisa dikatakan, apabila kaum buruh mampu membentuk Partainya sendiri, membentuk jaringannya sendiri tanpa menggantungkan diri pada kekuatan Partai Politik mapan maka bisa dipastikan, Partai Buruh menjadi Partai politik paling kuat di Indonesia.

Marsinah 8 Mei
Hari Marsinah Pahlawan Buruh Indonesia Marsinah lahir tanggal 10 April 1969.
Sejak usia tiga tahun, Marsinah diasuh oleh neneknya. Pendidikan dasar ditempuhnya di SD Karangasem 189, Kecamatan Gondang. Kemudian dilanjutkan ke SMPN 5 Nganjuk. Selama menjadi murid SMA Muhammadiyah, ia dikenal sebagai siswa yang cerdas. Semangat belajarnya tinggi dan selalu mengukir prestasi dengan peringkat juara kelas. Jalan hidupnya menjadi lain, ketika ia terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ia tidak punya cukup biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Pergi meninggalkan desa, menuju kota untuk menjadi buruh adalah sebuah langkah hidup yang sulit terelakan. Dia kemudian mendapatkan pekerjaan di pabrik arloji Empat Putra Surya, Rungkut Industri, sebelum ia pindah mengikuti perusahaan tersebut yang membuka cabang di Siring, Porong, Sidoarjo.

Marsinah berkeyakinan bahwa pengetahuan itu mampu mengubah nasib seseorang. Marsinah mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Kebiasaannya adalah mendengarkan warta berita, baik lewat radio maupun televisi. Pada waktu luang, ia membuat kliping koran meskipun penghasilannya pas-pasan untuk menutup biaya hidup. Ia sering dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi kawan-kawannya. Kalau ada kawan yang sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk. Selain itu ia seringkali membantu kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Ia juga dikenal sebagai seorang pemberani. Paling tidak dua sifat yang terakhir disebut—pemberani dan setia kawan—inilah yang membekalinya menjadi pelopor perjuangan.

Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)—pabrik tempat kerja Marsinah—resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok.
Marsinah 
 Pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Sebagian buruh bergerombol dan mengajak teman-teman mereka untuk tidak masuk kerja. Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Tidak ketinggalan, para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa. Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung.

Dalam perundingan, Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.

Tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa babibu, tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama. Sungguh! Hukum menjadi kehilangan gigi ketika senapan tentara ikut bermain. Kemarahan Marsinah meledak saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. Dengan gundah ia raih surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya, lantas pergi. Marsinah telah mati.

Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 8 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras

ERA REFORMASI 
Sikap pemerintah dan pengusaha masih sama sejak zaman penjajahan dulu yaitu represif dan lebih membela kepentingan modal. Tingginya angka pengangguran membuat posisi tawar buruh menjadi lemah. Tahun 2006 angka pengangguran mencapai 11.1 juta jiwa atau 10,4 persen dari total angkatan kerja tahun ini. Sulitnya memperoleh pekerjaan membuat buruh takut untuk kehilangan pekerjaan. Kondisi ini semakin dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk menekan upah buruh semurah mungkin, menerapkan system kerja yang fleksibel, dengan syarat dan kondisi kerja yang tidak manusiawi.
 










Mahasiswa Menduduki Gedung DPR 

 Keberpihakan pemerintah terhadap modal tercermin dengan dikeluarkannya rancangan revisi Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (RUUK) yang berisi pemangkasan hak-hak pekerja, pelepasan perlindungan negara, ketidakpastian keberlangsungan kerja, persaingan dengan tenaga kerja asing, ketidakpastian hubungan kerja, penurunan kesejahteraan, dan lain-lain, sehingga akan menurunkan kondisi sosial ekonomi buruh dan atau masyarakat secara luas.

Menanggapi RUUK tersebut serikat buruh yang ada bersikap secara reaktif. Sebenarnya isu RUUK itu sudah diketahui sejak bulan oktober bahkan agustus 2005 tapi belum menjadi perhatian serikat buruh. Baru pada bulan maret 2006 dimulai aksi-aksi untuk menolak RUUK tersebut, hingga puncaknya pada 1 Mei 2006, pada perayaan hari buruh internasional namun tanpa kehadiran SPSI.

Sedangkan aksi besar yang diadakan oleh SPSI yaitu pada 5 April 2006 dan 3 Mei 2006, adanya gerakan aksi buruh SPSI tersebut berasal dari arus bawah bukan dari pimpinan pusat. Pelaksanaan aksi 3 Mei bukan pada 1 Mei atas alasan ego pribadi dan eksistensi organisasi, sehingga memperlihatkan fragmentasi secara jelas diantara serikat buruh yang ada. Menurut Vedi r. Hadizt fragmentasi di antara serikat buruh, 70 persennya bukan alasan idiologi, alasan taktik dan strategi hanya 10 persen, sisanya hanyalah alasan persaingan pribadi, persaingan lahan, dan persoalan klaim mengklaim.

1 komentar:

  1. http://mynewgooger.blogspot.com/2017/06/blog-post_21.html

    http://myangkasabbolaa.blogspot.com/2017/06/blog-post_21.html.

    http://vipbola88.blogspot.com/2017/06/kapolda-metro-sebut-seorang-pelaku.html




    SITUS JUDI ONLINE TERBESAR DAN TERPECAYA SEASIA
    ANGKASABOLA
    HANYA DENGAN 1 USHER ID SAJA SUDAH BISA BERMAIN SEMUA GAMES SEPERTI :


    1. SPORTBOOK
    2. TOGEL
    3. TANGKAS
    4. KENO
    5. SLOT
    6. GD88
    7. 855 CROWN
    8. POKER DAN MASIH BANYAK LAGI GAMES LAINYA YANG TIDAK KALAH SERUNYA BOSS

    ANGKASABOLA JUGA MEMILIKI BANYAK KEUNGGULAN BOSS

    1. PROSES DEPO&WD CEPAT TIDAK SAMPAI 1 MENIT
    2. RESPON LIVECHAT CEPAT
    3. SIAP MEMBANTU KENDALA BOS 24 JAM
    4. LANGSUNG DILAYANI OLEH CS CANTIK DAN PROFFESIONAL
    5. JP SEBESAR BERAPAPUN AKAN DI BAYAR BOSS


    TUNGGU APA LAGI BOSKU ?
    JANGAN HANYA MELIHAT BOSKU SEKARANG JUGA LANGSUNG BERGABUNG DENGAN KAMI DI WWW.ANGKASABOLA.COM YAH BOSKU ^^

    KAMI TUNGGU KEHADIRANYA YAH BOSS

    INFO ":
    BBM : 7B3812F6
    TWITTER : CSANGKASABOLA
    INSTAGRAM: CS1ANGKASABOLAA
    FACEBOOK : ANGKASABOLA
    LINE : ANGKASABOLA

    BalasHapus