1. Liberalisasi
Sektor Migas dan Gas
Kebijakan
menghapus subsidi BBM berkaitan dengan kebijakan liberalisasi ekonomi yang saat
ini tengah berlangsung di Indonesia. Kebijakan menghapus subsidi BBM berhubungan
dengan kebijakan uang ketat yang merupakan bagian dari pelaksanaan agenda
Konsensus Washington yang diprakarsai IMF. Dibalik kebijakan penghapusan subsidi
BBM, Agenda Konsensus Washington pada dasarnya untuk memperbesar peranan
mekanisme pasar dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia.
Tahapan
penghapusan subsidi BBM merupakan tahapan lanjutan dari liberisasi sector migas
di Indonesia. Undang Undang (UU) Minyak dan Gas No. 22/2001 memuat insentif
bagi para investor pertambangan untuk menanamkan modal mereka di Indonesia. Sudah
menjadi rahasia umum, sudah sejak lama perusahaan-perusahaan multinasional yang
bergerak dalam bidang pertambangan minyak dan gas, seperti Chevron Texaco, Exxon
Mobil, BP Amoco Arco, Total Fina Elf, Shell, China petrol oli&gas dan
sebagainya sangat berhasrat untuk memperluas wilayah kerja mereka di Indonesia.
Sesuai
dengan ketentuan yang lama yaitu UU Pertambangan Minyak dan Gas No. 44 Prp/
1960 dan UU Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara No. 8/1971,
perusahaan –perusahaan multinasional tersebut hanya diperkenankan berperan
sebagai kontraktor dalamproses eksplorasi minyak dan gas di Indonesia.
UU
No. 22/2001 menghilangkan perbedaan antara perusahaan-perusahaan multinasional
tersebut dengan PT Pertamina, penjualan BBM dengan harga bersubsidi jelas
sangat merugikan mereka. SPBU perusahaan multinasional tersebut terlihat sepi
dan tidak menarik selama disparitas harga BBM di Indonesia masih jauh dari
harga pasar.
Menurut pengamat ekonomi Ichsanudin,
liberalisasi menjadi masalah ketika pemerintah menerapkan harga pasar, namun di
sisi lain pemerintah tidak menerapkan strategi bagaimana masyarakat mempunyai
pendapatan pasar. Akibatnya, kenaikan harga BBM dan harga barang tak diikuti
kenaikan pendapatan masyarakat.
2. “Subsidi”
atau Mengurangi Keuntungan
Menurut pengakuan
Wamen, pendapatan negara dari minyak bumi saat ini adalah sekitar Rp 205
triliun dengan asumsi produksi 930.000 barrel/hari, harga minyak $105/barrel,
kurs Rp 9.000/dollar dan
untuk APBN 2013 cost recovery yang disetujui DPR ialah US$15,5 miliar. Setiap tahun pemerintah mengeluarkan subsidi BBM yang
disebabkan pemerintah harus membayar minyak yang diimpor. Tahun ini, menurut
Wamen subsidi BBM yang dikeluarkan pemerintah adalah Rp 178 triliun dengan
asumsi harga minyak $105/barrel dan kurs Rp 9.000/dollar (serta jumlah minyak
impor yang mencapai 516.000 barrel/hari atau 82 juta liter/hari.
Biaya produksi minyak mentah per barel
per hari ialah Rp 430.556 atau Rp2.710 per liter per hari. Namun karena
Indonesia memenuhi kontrak bagi hasil
dengan kontraktor minyak asing (menguasai 85,3% dari total lifting), dari
pelaksanaan kontrak itu Indonesia hanya memperoleh 60% dari hasil minyak yang diisap
dari perut bumi Indonesia. Porsi 60% itu disebabkan Indonesia harus menanggung
biaya cost recovery yang dibayar lebih dulu oleh kontraktor minyak dan
berdampak mengurangi hak bagi hasil Indonesia. Justru dengan porsi itu biaya
produksi minyak mentah per liter per hari yang ditanggung pemerintah menjadi Rp
4.516. Dalam praktik pada umumnya biaya
bensin premium terdiri atas 60% minyak mentah (Rp4.516) dan 40% hal-hal lainnya
(Rp3.011). Jadi, total biaya minyak
olahan ialah Rp4.516 ditambah Rp3.011 sama dengan Rp7.527, belum termasuk fee produksi minyak mentah,
pengolahan dan distribusi serta alfa
Rp642 per liter.
Kalau dihitung termasuk pajak 15% (Rp1.241), harga jual akhir di pemakai RON 88 ialah Rp9.518 per liter, dibulatkan Rp9.500. Jika dibandingkan dengan harga pertamax, RON 88 itu terlalu mahal. Artinya, rakyat membeli minyak (bensin RON 88) milik bumi Indonesia--sesuai dengan target makro ekonomi yang ditetapkan APBN--dengan biaya yang sangat tinggi.
Harga RON 88 Rp9.500 per liter itu diasumsikan antara biaya yang dikeluarkan untuk mendapat minyak dalam negeri dan harga untuk membeli minyak impor ialah sama. Padahal, dalam kenyataan tidak demikian.
Dalam akutansi, biaya
adalah semua pengeluaran yang tidak kembali alias hangus. Dan subsidi juga
termasuk biaya. Dengan pengertian tersebut maka berarti subsidi senilai Rp 178
triliun per-tahun tersebut adalah untuk membayar impor minyak yang diberikan
gratis kepada masyarakat. Dengan demikian subsidi tersebut benar-benar menjadi
biaya yang tidak kembali alias hangus. Padahal masyarakat tidak pernah gratis
mendapatkan minyak. Masyarakat membayar, meski lebih rendah dari harga
impornya, katakanlah seharga harga premium Rp 4.500/liter.
Dari pembayaran impor sebesar Rp 178 triliun tersebut pemerintah melalui Pertamina mendapat pemasukan sebesar Rp4500 x 82 juta x 365 = Rp 134 triliun. Dengan kata lain subsidi yang benar-benar subsidi adalah Rp 178 triliun - Rp 134 triliun = Rp 44 triliun. Dibanding pendapatan pemerintah dari minyak sebesar Rp 205 triliun, nilai 44 trilyun sungguh tidak berarti.
Dari pembayaran impor sebesar Rp 178 triliun tersebut pemerintah melalui Pertamina mendapat pemasukan sebesar Rp4500 x 82 juta x 365 = Rp 134 triliun. Dengan kata lain subsidi yang benar-benar subsidi adalah Rp 178 triliun - Rp 134 triliun = Rp 44 triliun. Dibanding pendapatan pemerintah dari minyak sebesar Rp 205 triliun, nilai 44 trilyun sungguh tidak berarti.
Pernyataan wamen tersebut menunjukkan
pemerintah tidak pernah memenuhi janji good governance yang mewajibkan
keterbukaan dan kejujuran akan perhitungan biaya produksi sendiri dan biaya
impor BBM sehingga didapat harga campuran. Pemerintah tidak memberikan
pengertian hukum apa yang dimaksud dengan subsidi. Namun, langsung menerima
gagasan Bank Dunia dan lembaga
internasional lainnya bahwa subsidi pada barang ialah salah dan hal itu telah
membuat subsidi salah sasaran. Padahal, pengertian subsidi dalam rujukan
ekonomi konstitusi termasuk ke makna untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pemerintah tidak membuat perbandingan alokasi subsidi. Misalnya saat pemerintah
membayar bunga obligasi rekapitalisasi perbankan dan membayar bunga obligasi
bermata uang asing dengan bunga tinggi seperti yang terjadi pada 2010.
Pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy
menilai, pemerintah berniat membodohi masyarakat ketika menyebutkan biaya pokok
produksi minyak mencapai Rp 9 ribu. Ia mempertanyakan asal-usul keluarnya angka
9 ribu dari subsidi sebesar Rp 5 ribu per liter. Ketika ditanyakan kepada Wamen
ESDM bagaimana bisa menghitung harga sampai Rp 9 ribu, wamen tidak bisa jawab.
Ichsanuddin mengatakan, pemerintah harus
mendefinisikan istilah subsidi untuk rakyat secara tepat. Hingga saat ini
pemerintah tidak pernah memberikan pengertian apa itu subsidi. Oleh karena itu,
sejumlah masalah mencuat terkait upaya pemerintah yang bersikeras mengurangi
subsidi BBM dan mengalihkan sebagian subsidi BBM tersebut ke pangan.
Noorsy mencontohkan, beberapa masalah yang muncul di antaranya sampai sejauh ini subsidi dipahami sebagai selisih harga jual dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Padahal saat subsidi itu dilakukan pada komoditas hajat hidup orang banyak maka subsidi ini harus dilihat juga sebagai alokasi APBN untuk fungsi distribusi dan stabilisasi.
Dalam kaitannya dengan itu, sayangnya pemerintah sudah terlanjur berpandangan bahwa APBN adalah campur tangan pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, subsidi selalu dikaitkan bahwa di dalam harga jual, para produsen dianggap sudah menetapkan keuntungan.
Menurut Noorsy, dalam ekonomi, kepuasan konsumen ada batasnya tetapi kepuasan produsen tidak terhingga, akibatnya konsumen akan patuh kepada produsen. Rumusan konsumen adalah raja selama ini sekadar ilusi belaka karena produsen selalu membentuk persepsi konsumennya.
3. Ekonomi
Fatamorgana
Pujian buat "prestasi" ekonomi Indonesia pada panggung Internasional
berkali-kali diberikan oleh Bank Dunia. Pemimpin Indonesia disebut lame duck
(The Economist edisi 25 Februari 2012) dan limp (The Economist edisi 23
Februari 2013). Yang menarik, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi
kelima terbesar pada 2030. Padahal struktur ekspor Indonesia yang mengandalkan
bahan mentah, tidak layak diberikan apresiasi. Model ekonomi seperti itu persis
model ekonomi zaman penjajahan VOC dan Belanda. Apalagi ketergantungan
Indonesia terhadap impor barang modal, bahan baku dan impor bahan bakar minyak
(BBM) sangat tinggi.
Jika cadangan devisa masih cukup untuk impor selama 5,7 bulan dan
bayar utang luar negeri, hal itu disebabkan investasi portofolio cukup deras
memburu SBN. Ini pun dipandang sebagian besar ekonom sebagai prestasi. Tentu
saja para pemilik modal berburu global medium term note (SBN berdenominasi
dolar AS) karena imbal hasilnya 3,375 persen di saat Fed Rate tetap bertengger
0,25 persen, bunga Bank of Japan 0,1 persen, dan bunga ECB juga mendekati 1
persen.
Bahkan Indonesia pada 2009 pernah menjual surat utangnya dengan
imbal hasil 10,5 persen untuk tenor 5 tahun dan 11,75 persen untuk tenor 10
tahun. Tentu saja para pemodal di negeri Paman Sam tergiur. Lalu, atas nama net
oil importer, pemerintah menyatakan subsidi BBM salah sasaran, dan karenanya
harga eceran perlu dinaikkan agar defisit APBN tidak membesar dan tekanan
fiskal bisa dikurangi.
Persoalan di atas tentu tidak sederhana dan sulit diatasi untuk
jangka pendek. Yang pasti, impor barang modal, bahan baku industri, dan BBM
serta struktur ekspor yang didominasi barang mentah, menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen pada 2011 dan 6,2 persen (tahun 2012)
sebagai pertumbuhan ekonomi fatamorgana.
Pertama, yang mengekspor adalah swasta (asing dan domestik) dan
menempatkan devisa hasil ekspornya di luar negeri. Kedua, impornya adalah bahan
baku industri, barang modal, dan BBM yang mengakibatkan transaksi berjalan
berpotensi defisit. Ketiga, transaksi modal dan finansial yang membesar membuktikan
bahwa Indonesia hanya dijadikan tempat tumbuh yang buahnya diambil oleh
investor (asing).
Keempat, liberalisasi investasi dan perdagangan serta keuangan
mengakibatkan nilai tukar rupiah mudah sekali berfluktuasi sehingga mudah
mendorong inflasi. Kelima, makin besar kita bayar utang luar negeri (ULN),
makin besar pula jumlah utang. Inilah jebakan ULN karena dengan ULN bangsa
Indonesia makin dalam terjajah. Alhasil, barang-barang impor dan gejolak nilai
tukar berbuah inflasi dan inflasi sendiri adalah senjata yang siap menghunus
debitur ULN. Sisi lain benar bahwa kelas menengah kini mencapai 56,6 persen
dari jumlah penduduk meski dengan posisi ketahanan ekonomi yang lemah. Lihat
saja, impor beras, wortel, cabai, bawang, daging sapi, garam, ikan, beras, gula
dan barang konsumsi lainnya. Ini berarti pasar domestik yang besar bukan
dipasok produsen domestik.
4. Struktur
Ekonomi
Sebagian
besar manfaat subsidi BBM terhadap anggota masyarakat golongan mampu dan orang kaya
sama sekali bukan kesalahan subsidi BBM, melainkan lebih erat kaitannya dengan
corak struktur perekonomian Indonesia yang memang terlanjur sudah sangat
timpang.
Batas
garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia, yaitu penduduk dengan penghasilan
kurang dari US$2 atau sekitar Rp19.000 per hari. Jumlah penduduk Indonesia saat
ini yang berpenghasilan dibawah US$2 masih berjumlah sekitar 60 persen dari
jumlah 240 juta penduduk. Sebaliknya, deposito dengan jumlah minimal Rp 5
milyar, yang secara keseluruhan meliputi 95 persen dari jumlah seluruh deposito
yang terhimpun pada berbagai bank di Indonesia, diperkirakan hanya dimiliki
oleh 14.000 orang terkaya di Indonesia.
Apabila
dikaji lebih jauh, jangankan subsidi BBM, subsidi pendidikan, subsidi
kesehatan, dan sebagainya cenderung lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu
dan orang kaya daripada oleh anggota masyarakat golongan bawah dan orang
miskin.
Yang
perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah berlanjutnya pemberian subsidi
BBM, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya yang cenderung tidak tepat sasaran
tersebut bukan dengan cara meniadakan pemberian subsidi. Melainkan melakukan
koreksi sistematis terhadap struktur perekonomian Indonesia yang timpang.
Caranya
adalah dengan memerangi korupsi, menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap
sektor perbankan misalnya kredit dengan bermodalkan “surat sakti” dari pejabat
tertentu, mengalokasikan anggaran negara yang lebih besar bagi penanggulangan
kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan alokasi anggaran untuk membiayai
pendidikan dan kesehatan, dan meningkatkan tarip pajak kendaraan berlipat ganda
bagi pemilik kendaraan roda empat lebih dari satu.
5. Postur
APBN yang tidak sehat
Dari sudut pandang ekonomi, kenaikan BBM ini
juga tidak tepat. Jika kita melihat perkembangan APBN sejak tahun 2010 sampai
dengan 2012, maka akan terlihat bahwa Pemerintah mengarahkan pos subsidi APBN
berkurang hingga mencapai lebih dari 3% dari 17,96% pada tahun 2011 menjadi
hanya 14,72% pada tahun 2012. Penurunan jumlah subsidi terhadap BBM, termasuk
energi, menyumbang penurunan nilai subsidi sebesar 94,28% pada APBN. Ironisnya,
hal ini berkebalikan dengan kenaikan anggaran belanja pegawai yang hampir
mencapai 3% dari sebelumnya 13,85% pada tahun 2011 naik menjadi 15,21% pada
tahun 2012. Kenaikan belanja pegawai tidak berarti menaikkan kesejahteraan
penduduk. Kenaikan belanja pegawai juga tidak memberikan efek positif dan
peningkatan kinerja yang signifikan terhadap birokrasi Indonesia. Jika kondisi
pegawai negeri sipil masih seperti sekarang dimana hanya terdapat 5% PNS yang
berkompeten dan 95% lainnya kinerjanya rendah dan menjadi sarang korupsi. Maka
tidak tepat apabila struktur APBN lebih memihak belanja pegawai daripada
mensubsidi rakyat banyak.
6. Beban
Hutang
Jika
dilihat dari postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), besarnya defisit
anggaran dan sangat beratnya beban APBN disebabkan beberapa hal antara lain sangat
besarnya pengeluaran negara untuk membayar angsuran pokok dan bunga hutang dalam
dan luar negeri setiap tahunnya. Pembayaran angsuran pokok dan bunga utang
dalam dan luar negeri dalam anggaran negara rata-rata mencapai Rp170 trilyun
setiap tahun.
Menurut pengamat ekonomi
Ichsanuddin, pembayaran bunga utang
Indonesia pertahunnya sudah Rp 170-an trilliun. Utang itu berasal dari beban
bunga penjualan obligasi yang lebih tinggi dibanding BI Rate. Bahkan untuk Global Mutual Fund bermata uang
dolar AS, obligasi pemerintah dijual dengan imbal hasil 10,5 persen untuk tenor
lima tahun dan 11,75 persen untuk tenor 10 tahun. Di saat yang sama Federal rate
AS hanya 0,25 persen.
Pembayaran
angsuran pokok dan bungan hutang dalam negeri dan luar negeri pada dasarnya
adalah subsidi terselubung yang dikeluarkan pemerintah untuk para pemilik
modal, yang jumlahnya hanya 14.000 dari total penduduk Indonesia.
Selama
beberapa tahun belakangan ini, subsidi BBM telah mengalami penurunan. Sebab
itu, subsidi BBM sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai kambing hitam
membengkaknya defisit APBN. Beban berat anggaran negara terutama disebabkan
oleh sangat besarnya subsidi terselubung yang diberikan pemerintah terhadap
sektor perbankan dan sangat besarnya beban angsuran pokok dan bunga utang dalam
negeri setiap tahunnya.
7. Rejeki
Nomplok
Tahun
2003 dan 2004 , produksi minyak Indonesia mencapai 1,09 juta barrel dan 1,15
juta barrel per hari. Sedangkan produksi tahun 2013 diperkirakan sebesar 830
ribu hingga 850 ribu barrel per hari (bph). Sebagian produksi minyak Indonesia,
dengan pertimbangan bahwa kualitas dan harganya jauh lebih tinggi, di ekspor ke
negara lain. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Bahan Bakar Minyak
(BBM) di dalam negeri, Indonesia mengimpor minyak dengan kualitas dan harga
yang lebih rendah dari negara lain.
Kenaikan
harga minyak di pasar internasional sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai
alasan untuk mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM. Sebagai salah satu
Negara produsen dan pengekspor migas, Indonesia sesungguhnya juga memperoleh
manfaat dari kenaikkan harga minyak tersebut. Jika dilihat dari sudut APBN,
sejalan dengan meningkatnya harga minyak di pasar internasional, penerimaan
negara dari sektor migas yang meliputi PPh Migas dan Penerimaan Bukan Pajak
Migas, seharusnya juga mengalami peningkatan secara signifikan.
Kenaikan
harga minyak dunia seharusnya memberikan kenaikan pada penerimaan Negara.
Kenaikan tersebut berkisar 20-45 Persen. Alasan pemerintah menaikan harga BBM
karena kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional (New York Exchange
Mercantile) yang saat ini telah menembus angka 120 US dollar per barrel semakin
membebani APBN.
Memang
benar kenaikan harga minyak dunia pasti berimplikasi serta berkonsekuensi
terhadap penerimaan dan pengeluaran negara. Akan tetapi seharusnya setiap
momentum kenaikan harga tidak serta-merta dapat menjadi alasan pembenar bagi
pemerintah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kalau mau fair (adil)
pemerintah harusnya juga menjelaskan bahwa kenaikan harga minyak dunia tidak
hanya mengakibatkan naiknya belanja pemerintah (khususnya beban subsidi).
Lonjakan harga juga memberi “rejeki” berupa meningkatkan pendapatan dari minyak
dan gas. Seperti yang dipaparkan Tim Konsorsium Peneliti Perguruan Tinggi
(UI-UGM-ITB), bahwa jika terjadi kenaikan harga minyak dunia rata-rata 10%,
maka akan meningkatkan pendapatan negara dari Migas sebesar Rp3,5 triliun. Dan
tentu akan lebih signifikan lagi keuntungan yang didapat oleh Indonesia jika
saja negara ini menjadi net eksportir minyak.
Perlu
dipahami bahwa Kenaikan harga minyak mentah akhir-akhir ini di pasar
internasional bukan akibat real cost (biaya sebenarnya) tetapi
lebih diakibatkan oleh tindakan para spekulan yang beralih dari portofolio
seperti mata uang dan saham yang belakangan ini kurang menguntungkan sebagai
dampak dari krisis keuangan global. Adanya selisih antara harga jual dengan harga
internasional inilah yang dianggap pemerintah sebagai subsidi. Padahal tidak
seluruh konsumsi minyak mentah Indonesia yang mencapai 1,2 juta barel per hari
tersebut diimpor.
Dengan
rata-rata produksi minyak (lifting) sebesar 927.000 barrel per hari maka impor
minyak mentah Indonesia berkisar antara 300-400 ribu barel per hari. Dengan
demikian jika terjadi lonjakan harga, maka peningkatan subsidi hanya terjadi
pada jumlah yang diimpor saja. Kesalahan fatal pemerintah terjadi ketika
menganggap BBM sebagai komoditas yang harus dijual dengan harga pasar.
8.
Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai alat pencitraan dan tidak mendidik
Ketua Umum PBNU KH Sa’id Aqil
Siradj beranggapan bahwa BLSM tidak mendidik, Kiai Said mengusulkan agar
disalurkan dalam bentuk yang lebih mendidik semisal pemberian modal kerja,
tambahan subsidi pendidikan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat dan lainnya.
Bonny Hargens
berpendapat, setidaknya ada dua alasan rencana kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) bersubsidi sarat politis, khususnya oleh Partai Demokrat. Pertama,
kenaikan harga BBM menjadi alat Partai Demokrat menggarap dukungan
masyarakat. Melalui kebijakan sinterklas. Kenaikan BBM akan disusul dengan
BLSM, ini alat politik yang mau dipakai Demokrat untuk memperoleh dukungan
menjelang pemilu. Alasan kedua, rencana kenaikan harga BBM berpotensi sebagai
alat mencari dukungan finansial untuk Pemilu 2014. Karena, kenaikan BBM
akan memberikan keuntungan bagi pengusaha migas. Kelompok pengusaha ini akan
menjadi donatur potensial di Pemilu.
BLSM bersifat
sementara sedangkan kenaikan harga BBM bersifat permanen dan pasti akan naik
lagi. Karena itu, BLSM Ini adalah proses yang disebut sebagai bagian dari kemiskinan
structural. BLSM menjadi wujud bahwa pemerintah memang menerapkan ekonomi
berbasis pasar. Pemerintah berpandangan kemiskinan dapat diselesaikan lewat
pemberian yang instan padahal yang terjadi adalah suatu proses kelanjutan
kemiskinan struktural dan cultural.
9.
Kenaikan
BBM Tidak Menghemat Anggaran Negara
Berdasar
dokumen RAPBN 2013 yang diterima dan kemudian dianalisis oleh Fitra (Forum
Indonesia Untuk Transparansi Anggaran), penghematan yang dimaksud Pemerintah
adalah kenaikan harga akan membatasi kenaikan patokan volume BBM bersubsidi
dari 46 juta kiloliter menjadi 48 juta kiloliter. Bila harga tak dinaikkan,
maka Pemerintah harus mensubsidi kenaikan volume BBM bersubsidi hingga 53 juta
kiloliter. Dengan demikian penghematan hanya sekitar 5 juta kiloliter atau
setara uang sekitar Rp 17,5 Triliun.
Anggaran
penghematan itu rencananya akan diperuntukkan ke Bantuan Langsung Sosial
Sementara (BLSM) sebesar Rp 11,6 Triliun untuk 15,5 Juta Rumah Tangga Sangat
Miskin (RTSM). Setiap RTSM diberikan uang tunai sebesar Rp 150 Ribu perbulan
selama lima bulan.
Sisanya
Rp 6 triliun diklaim untuk penambahaan anggaran untuk program pembangunan
infrastuktur sebesar. Namun faktanya,
uang itu bukan digunakan untuk memperbaiki jalan yang banyak rusak.
Tetapi lebih kepada Infrastruktur air bersih, irigasi, serta program
pembangunan Infrakstuktur perdesaan (PPIP).
Apalagi,
ada indikasi pemborosan anggaran karena ada dobel anggaran. Sebab Pemerintah
juga akan memberikan alokasi anggaran untuk program bantuan beasiswa sebesar Rp
7,4 Triliun; dan penambahan dana program keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp
728,8 Miliar. Pada program PKH, RTSM akan menerima paling rendah sebesar Rp 800
ribu dan paling tinggi Rp 2,8 juta pertahun, plus beras raskin.
10. Kegagalan Kebijakan Energi Nasional
Ichsanuddin berpendapat, pemerintah
Indonesia tidak pernah bersungguh-sungguh dalam membuat kebijakan energi. Kebijakan
energy tidak rumuskan sedemikian rupa dari hulu sampai hilir.
Indonesia ekspor 70%
Batubara ke luar negeri. Indonesia pengekspor LNG terbesar di dunia. Indonesia
ekspor 500.000 barrel per hari minyak. Tapi, di dalam negeri listrik sering
padam, rakyat antri gas, dan bensin pun harganya terus meningkat. Sebab,
Pertamina hanya memproduksi 13,8% sementara sisa minyak di Indonesia dikelola
asing. Chevron (44%), Total E&P (10%), Conoco Phillip (8%), Medco (6%) ,
CNOOC (4%), Petrochina (3%), dll (Sumber : Dirjen Migas 2009). Harganya pun
harus harga Internasional.
Keuntungan Perusahaan Migas yang beroperasi di Indonesia, Exxon
Mobil tahun 2007 sebesar US$ 40,6 milyar (Rp 373 trilyun) dari pendapatan US$
114,9 milyar (RP 1.057 trilyun –CNN).
Bagi hasil migas sebesar 85:15 untuk pemerintah dan perusahaan asing
baru dilakukan setelah dipotong “Cost Recovery” yang besarnya ditetapkan
perusahaan asing. Jika tidak tersisa, Indonesia tidak dapat.
Di Blok
Natuna setelah dipotong Cost Recovery Indonesia dapat 0 dan Exxon
100% (Kompas, 13 Oktober 2006). Transparansi International Indonesia
menemukan biaya senang-senang main golf dimasukkan dalam Cost Recovery
(DetikFinance.com)
11. Masyarakat Tidak Boros Menggunakan
BBM
Pemerintah pernah menyatakan kalau BBM murah akan menjadikan
masyarakat boros menggunakan BBM. Faktanya, konsumsi BBM Indonesia cukup
rendah, berada di urutan ke-116 di bawah negara Afrika seperti Botswana dan
Namibia.
Berikut
tabel konsumsi BBM (barel per orang /tahun) di beberapa negara
Negara
|
Ranking
|
Konsumsi BBM
|
GNP/Capita
|
Singapura
|
1
|
59.5
|
21.230
|
AS
|
7
|
25.8
|
37.870
|
Jepang
|
23
|
15.6
|
34.180
|
Jerman
|
36
|
12.4
|
25.270
|
Malaysia
|
47
|
7.8
|
3.880
|
Botswana
|
87
|
3.7
|
3.530
|
Namibia
|
98
|
2.6
|
1.930
|
Indonesia
|
116
|
1.7
|
810
|
Pemerintah mengatakan bahwa harga BBM di Indonesia murah karenanya harus dinaikkan. Di Jepang, Amerika, Cina dan Malaysia memang harga BBM lebih tinggi dari pada di Indonesia, tapi perlu ingat, pendapatan perkapita Negara tersebut jauh lebih tinggi dari pada pendapatan perkapita Indonesia. Namun pada faktanya BBM di Indonesia (premium, Rp 4.500/liter) lebih mahal dari pada Venzuela Rp 460/liter, Turkmenistan Rp 736/liter, Iran Rp 828/liter, Nigeria Rp 920/liter, Saudi Arabia Rp 1.104/liter, Kuwait Rp 1.932/liter, dan Mesir Rp 2.300/liter.
Tabel
perbandingan harga bensin di beberapa negara
Negara
|
Rp./Liter
|
Populasi
|
GNP/Capita
|
Venezuela
|
460
|
26.000.000
|
3.490
|
Turkmenistan
|
736
|
5.000.000
|
1.120
|
Iran
|
828
|
68.000.000
|
2.010
|
Nigeria
|
920
|
129.000.000
|
350
|
Saudi Arabia
|
1.104
|
27.000.000
|
9.240
|
Kuwait
|
1.932
|
2.400.000
|
17.960
|
Mesir
|
2.300
|
78.000.000
|
1.390
|
Indonesia
|
4.500
|
220.000.000
|
810
|
Malaysia
|
4.876
|
24.000.000
|
3.880
|
Cina
|
5.888
|
1.300.000.000
|
1.100
|
AS
|
8.464
|
296.000.000
|
37.870
|
Jepang
|
9.292
|
128.000.000
|
34.180
|
12. Subsidi salah sasaran
Ichsanuddin Noorsy menyebutkan,
kebijakan kenaikan harga BBM diarahkan oleh Bank Dunia. Hal tersebut terlihat
dalam Blue print Badan Pengelola Migas 2004-2020. Pada 2010 adalah tahap pasar
bebas. Hal itu diperjelas dengan upaya mengembangkan mekanisme harga
keekonomian energy.
Noorsy mempertanyakan alasan
pemerintah mencabut subsidi dengan asumsi salah sasaran. Menurut Noorsy, logika
pemerintah salah. "Siapa yang dimaksud orang kaya, apakah mereka yang
mempunyai mobil. Orang kaya di Indonesia
yang memiliki mobil mewah kurang dari 5%. Sedangkan 95% mobil yang
terjual di Indonesia bercc 1500 ke bawah. Sebanyak 65% di antara mereka
rmembeli dengan kredit dengan cicilan Rp3,4 hingga Rp3,6 juta.
Faktanya
yang banyak menggunakan BBM adalah supir bis, metromini, mikrolet, supir truk,
para nelayan, dan pengendara motor yang memang memaksakan diri membeli
/menyicil motor untuk mengirit. Penumpang
angkot (bukan orang kaya) jika BBM naik pasti menderita karena tarif angkot
naik. Di Indonesia dengan sistem pajak
yang dzalim sebenarnya orang kaya juga berhak mengkonsumsi BBM subsidi karena
mereka juga membayar pajak dengan jumlah yang cukup tinggi.
Solusi Agar Tidak
Menaikkan BBM
1.
Menurunkan
Anggaran Kementerian
Dalam
postur APBN-P 2013 total belanja negara mengalami peningkatan sebesar Rp46
triliun. Peningkatan ini diakibatkan karena kesalahan pemerintah dalam
mengelola keuangan negara. Kesalahannya karena pemerintah tidak mampu
mengalokasikan secara berkelanjutan kekurangan bayar subsidi BBM. Kekurangan
bayar tahun 2010 sampai 2012 dibebankan dalam tahun anggaran 2013. Ini
merupakan bentuk ketidakadilan pengelolaan anggaran.
Menurut Eky, Anggota komisi XI DPR, Jumlah yang harus ditanggung akibat kurangnya bayar subsidi pada RAPBNP 2013 sebesar Rp36,9 triliun. Jumlah tersebut antara lain untuk kurang bayar subsidi BBM sebesar Rp16,1 triliun, kurang bayar subsidi listrik Rp19,1 triliun dan kurang bayar subsidi pupuk sebesar Rp1,7 triliun. Selain itu, pemerintah melakukan sebuah kesalahan di tahun-tahun sebelumnya karena jumlah penerimaan tidak berbanding dengan pengeluaran negara. Ini merupakan kesalahan pemerintah dalam pengelolaan keuangan Negara.
Pemerintah harus lebih kreatif dalam memberikan alternatif-alternatif lain untuk tidak menaikkan harga BBM. Salah satu alternatifnya adalah dengan asumsi penerimaan menurun tetapi belanja konstan, dengan demikian, kenaikkan BBM dapat dihindari. Asumsi Rp30 triliun yang digunakan sebagai pengurangan subsidi dapat ditutup melalui sisa anggaran lebih (SAL). Namun tetap harus diseimbangkan agar defisit tetap terjaga dibawah 3 persen. Kalaupun itu harus terkoreksi maka belanja KL (Kementerian dan Lembaga) harus menurun sebanyak Rp30 triliun.
Menurut Eky, Anggota komisi XI DPR, Jumlah yang harus ditanggung akibat kurangnya bayar subsidi pada RAPBNP 2013 sebesar Rp36,9 triliun. Jumlah tersebut antara lain untuk kurang bayar subsidi BBM sebesar Rp16,1 triliun, kurang bayar subsidi listrik Rp19,1 triliun dan kurang bayar subsidi pupuk sebesar Rp1,7 triliun. Selain itu, pemerintah melakukan sebuah kesalahan di tahun-tahun sebelumnya karena jumlah penerimaan tidak berbanding dengan pengeluaran negara. Ini merupakan kesalahan pemerintah dalam pengelolaan keuangan Negara.
Pemerintah harus lebih kreatif dalam memberikan alternatif-alternatif lain untuk tidak menaikkan harga BBM. Salah satu alternatifnya adalah dengan asumsi penerimaan menurun tetapi belanja konstan, dengan demikian, kenaikkan BBM dapat dihindari. Asumsi Rp30 triliun yang digunakan sebagai pengurangan subsidi dapat ditutup melalui sisa anggaran lebih (SAL). Namun tetap harus diseimbangkan agar defisit tetap terjaga dibawah 3 persen. Kalaupun itu harus terkoreksi maka belanja KL (Kementerian dan Lembaga) harus menurun sebanyak Rp30 triliun.
2.
Sikat
Mafia Gas
Rizal
Ramli mantan Menko Perekonomian menyatakan sebagian besar dari apa yang disebut
sebagai "subdidi" adalah subsidi untuk praktik KKN, mafia migas,
serta inefisiensi di PLN dan Pertamina. Namun dengan mudah pemerintah
membebankan ekonomi biaya tinggi dan kesalahan manajemen tersebut kepada rakyat
Indonesia untuk menanggungnya.Para mafia migas ini meraup untung sekitar Rp 10
triliun per tahun. Menaikkan harga BBM cuma menghasilkan pemasukan Rp 21
triliun dengan dampak yang pasti membuat beban rakyat semakin berat.
Sejak
delapan tahun lalu, Rizal Ramli sudah berulang-ulang menyarankan agar segera
membangun kilang (refinery) BBM. Langkah ini akan menurunkan biaya produksi
BBM. Dengan kilang baru, Indonesia bisa menghemat biaya transportasi dan
asuransi mengangkut minyak mentah ke Singapura dan impor BBM jadi. Artinya,
tidak perlu memberi keuntungan kepada kilang dan pajak di luar negeri. Kalau
pun harus mengimpor migas, seharusnya Pertamina bisa mengimpor langsung tanpa
melalui mafia.
3.
Optimalisasi
Kerja Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS)
Wakil
Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas),
Hardiono memanggil kontraktor minyak dan gas bandel yang belum juga melakukan
eksplorasi di wilayah kerjanya masing-masing. Saat ini terdapat setidaknya 179
kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang memiliki komitmen eksplorasi. Namun,
baru sekitar 30 kontraktor yang memenuhi komitmen. Sayangnya, KKKS belum
melakukan aktivasi sumur secara serius. Kebanyakan KKKS ternyata mengikuti
tender untuk future trading. Artinya, kontraktor hanya melakukan
studi seismik. Setelah mendapat data mereka akan menunggu investor baru untuk masuk
ke wilayah kerja mereka. Hardiono mengatakan KKKS menghabiskan biaya uji
seismik habis US$ 1 juta, kemudian KKKS menjual US$ 2 juta dan selisih US$ 1
juta merupakan keuntungannya.
Salah satu hal yang menyebabkan kontraktor tidak serius memenuhi komitmen karena pengawasan masih parsial dan kurang maksimal. Perlu memperketat jenjang waktu komitmen eksplorasi dari 0 sampai 6 tahun juga diperketat. Bila setelah melewati tahun keenam kontraktor belum juga memulai eksplorasi, kontrak terpaksa diputuskan dan wilayah Kerja kembali dilelang. Beberapa faktor eksternal penghambat antara lain adalah tumpang tindih lahan, perizinan, ganti rugi, dan isu sosial masyarakat.
Selain itu, ada juga kendala internal perusahaan seperti pembagian operator dan finansial yang menghambat perusahaan memenuhi komitmen pasti. Padahal, industri hulu migas sifatnya padat modal dan berisiko tinggi. Yang terjadi belakangan ini adalah sering kali beberapa kontraktor berniat menawarkan berbagi risiko dengan pihak lain dan hal ini yang terhalang oleh aturan.
Salah satu hal yang menyebabkan kontraktor tidak serius memenuhi komitmen karena pengawasan masih parsial dan kurang maksimal. Perlu memperketat jenjang waktu komitmen eksplorasi dari 0 sampai 6 tahun juga diperketat. Bila setelah melewati tahun keenam kontraktor belum juga memulai eksplorasi, kontrak terpaksa diputuskan dan wilayah Kerja kembali dilelang. Beberapa faktor eksternal penghambat antara lain adalah tumpang tindih lahan, perizinan, ganti rugi, dan isu sosial masyarakat.
Selain itu, ada juga kendala internal perusahaan seperti pembagian operator dan finansial yang menghambat perusahaan memenuhi komitmen pasti. Padahal, industri hulu migas sifatnya padat modal dan berisiko tinggi. Yang terjadi belakangan ini adalah sering kali beberapa kontraktor berniat menawarkan berbagi risiko dengan pihak lain dan hal ini yang terhalang oleh aturan.
4.
Perlu
mencari titik eksplorasi baru untuk meningkatkan produksi minyak
Indonesia
memang bukan negara kaya akan minyak.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas
Bumi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
per 1 Januari 2012, cadangan
terbukti (proven reserve) mencapai 3,741 miliar barel atau 0,3% dari
cadangan dunia, sedangkan cadangan potensial (potential reserve)
sebesar 3,666 miliar barel.
Selama
2011, Indonesia memproduksi minyak
sebesar 329 juta barel. Dari produksi tersebut, sebanyak 132 juta barel
diekspor ke luar negeri. Tetapi, Indonesia juga mengimpor berupa minyak mentah sebanyak 99
juta barrel dan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) 182 juta
barel. Sementara itu, konsumsi BBM mencapai 479 juta barel. Ini menyebabkan
negara defisit minyak
hingga 150 juta barel per tahun. Artinya, dengan tingkat konsumsi BBM nasional
rata-rata mencapai 40 juta kilo liter per tahun, cadangan minyak Indonesia akan
habis dalam kurun waktu 10-12 tahun lagi. Tak heran, predikat negara net
importir minyak
terbesar di Asia Tenggara telah disandang Indonesia. Memang saat ini adalah
masa yang suram, mengetahui negara ini dulu bisa memberikan pendapatan besar
dari ekspor minyak
bagi masyarakat.
Terjadinya
penurunan produksi disebabkan beberapa hal, seperti penurunan efesiensi
peralatan produksi, kerusakan formasi ataupun daerah di sekitar lubang bor,
sehingga mengurangi kemampuan mengalirnya fluida, penurunan tekanan reservoir,
gas-oil ratio (komposisi minyak dan gas), dan
kenaikan kadar air. Selain itu, kondisi cuaca yang buruk juga berimplikasi
cukup besar atas penurunan produksi minyak.
Pertama
kali Indonesia melakukan ekspor minyak
adalah pada Mei 1958 sebanyak 1.700 ton dengan nilai US$30.000 dari Pelabuhan
Pangkalan Susu. Itu adalah bukti bahwa sudah sejak lama Indonesia telah masuk
dalam era perdagangan minyak
dunia mengglobal. Apalagi, jika diingat semakin banyak kontraktor asing
berdatangan untuk mencari minyak
di Indonesia. Sejak itulah, pengusaha-pengusaha luar negeri mulai menanamkan
modal investasinya. Namun, akibat dari ekspor tersebut tidak diimbangi dengan
kebutuhan domestik, menjadikan negara sebagai net importir minyak karena setiap hari
produksi minyak
terus dipompa untuk memperoleh devisa negara.
Pada
1893 hingga 1982, jumlah kumulatif produksi minyak mentah Indonesia
telah mencapai sekitar 10,4 miliar barrel. Ini membuktikan bahwa usia pencarian
serta produksi minyak
di Indonesia telah lebih dari 100 tahun, walau nyatanya minyak terus mengalir dan
belum habis-habis juga. Pada 1982, tercatat cadangan terbukti minyak mentah Indonesia
sekitar 9,6 miliar barel atau sekitar 1,39% dari jumlah cadangan minyak dunia, sehingga
selama 30 tahun Indonesia sudah memompa minyak mentah sebesar 5,9
miliar barel.
Perlu ada langkah jangka panjang untuk
melakukan eksplorasi agar dapat menemukan cadangan baru menggantikan cadangan
terbukti saat ini. Produksi minyak Indonesia sekarang adalah hasil penemuan
15-20 tahun yang lalu. Kalau sekarang tidak ditemukan titik eksplorsi baru,
maka 12 tahun yang akan datang, cadangan devisi Indonesia akan habis. Cadangan minyak dan gas Indonesia
harus bertambah untuk menjaga ketahanan energi dan kesinambungan industri hulu minyak dan gas bumi di
Indonesia
Kondisi
eksplorasi migas kini masih memprihatinkan. Secara kualitatif, pengeboran
mencari cadangan baru sangat minim hasil. Dari 80 pengeboran yang dilakukan di
wilayah kerja yang sudah kurang lebih tiga tahun, cadangan hanya ditemukan
dalam 51 pengeboran, sementara 29 lainnya tak membuahkan hasil.
Selama beberapa tahun terakhir, alokasi
biaya operasi untuk kegiatan eksplorasi hanya mencapai 7 persen dari total
pengeluaran kontraktor kontrak kerja sama, bahkan lebih rendah dari alokasi
biaya untuk administrasi. Hal inilah yang menyebabkan pengeboran
eksplorasi menjadi belum dapat masif. Untuk itu, perlu mendesak kontraktor
kontrak kerja sama untuk meningkatkan anggaran kegiatan eksplorasi agar terjadi
peningkatan kegiatan eksplorasi.
Rencananya,
tahun 2012 akan dilakukan pengeboran
sumur eksplorasi sebanyak 258 sumur, pengeboran sumur pengembangan
sebanyak 1.178 sumur, dan work over sumur produksi sebanyak 1.094 sumur.
Selain itu, juga akan dilakukan survei seismik 2D dengan panjang seluruhnya
mencapai 18.752 km, survei seismik 3D seluas 22.298 km2, dan kegiatan non
seismik sebanyak tujuh kegiatan.
Dari
hasil kegiatan pengeboran sumur pengembangan, ditargetkan akan tambahan
produksi sebesar 75.044 barel minyak
per hari dan produksi gas sebesar 587 juta kaki kubik per hari. Sementara itu,
kegiatan work over diharapkan menghasilkan produksi minyak sebesar 33.595
barel per hari dan gas sebesar 333 juta kaki kubik per hari, sedangkan well
service diharapkan menghasilkan produksi minyak sebesar 13.052
barel per hari dan produksi gas sebesar 18 juta kaki kubik per hari. Dari hasil
kegiatan tersebut, diharapkan akan ada tambahan produksi minyak sebesar 121.691
barel minyak per hari dan gas
sebesar 938 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) pada 2013.
5.
Hasil
Ekspor Minyak Perusahaan Migas Harus di Masukkan ke Indonesia
Perusahaan minyak
dan gas (migas) masih banyak yang tidak memarkirkan Devisa Hasil Ekspor di
Indonesia. Akibatnya pemasukan buat negara berkurang. Ekonom Erani Yustika
mengatakan, perusahaam migas asing mengeruk keuntungan di Indonesia. Meski
demikian, masih banyak perusahaan migas asing yang tidak memarkirkan DHE di
Indonesia. Oleh karena itu, ia mengharapkan pemerintah dapat bertindak tegas
terhadap perusahaan tersebut.
Padahal Bank
Indonesia (BI) telah mengeluarkan mengenai aturan DHE untuk menarik DHE
khususnya dari migas. Erani menuturkan, aturan itu dibuat agar perbankan
nasional dapat memperkuat dengan adanya tambahan dana dari DHE.
Sebelumnya, BI
mengeluarkan aturan trustee untuk menarik dana hasil ekspor (DHE) khususnya
dari migas. Direktur Eksekutif dan Kepala Departemen Riset Ekonomi BI Perry
Warjiyo mengatakan, pihaknya menginginkan devisa hasil ekspor yang khususnya
dari migas agar masuk ke Indonesia. Selama ini salah satu faktor yang membuat
DHE sektor migas ini belum masuk ke Indonesia karena belum adanya aturan
trustee ini, sementara di luar negeri itu telah ada. Perbankan di Indonesia
bisa melakukan service yang integrated. Artinya, bank itu tidak hanya melayani
rekening simpanan bentuk giro atau tabungan para pengusaha itu saja, tapi juga
pembayaran jasa untuk investasi dan segala macam.
6.
Solusi
menutup deficit APBN
a. Cara
lain yang dapat ditempuh untuk mengurangi beban APBN adalah mengurangi porsi
pembayaran utang beserta bunganya. Sebagai contoh APBN 2011 kemarin misalnya,
pemerintah harus membayar angsuran pokok dan bunga utang sebesar Rp 267,509
triliun. Jelas terlihat uang rakyat habis terkuras hanya untuk membayar
angsuran pokok dan bunga utang. Ketidakberanian pemerintah menempuh rescheduling
utang dan hair cut kepada negara-negara kreditor menunjukkan bahwa pemerintah
hanya berani mengorbankan rakyat tanpa mau bersusah payah mencari alternatif
lain.
b.
Masih ada lagi cara lain untuk menanggulangi
meningkatnya besaran subsidi energi BBM akibat naiknya harga minyak dunia yakni
dengan menggunakan Sisa Hasil Penggunaan Anggaran (SILPA) tahun lalu sebesar
Rp32,2 triliun. SILPA itu bisa digunakan pemerintah untuk mengatasi persoalan
dan implikasi kenaikan harga minyak mentah dunia. Alih-alih mengoptimalkan sisa
anggaran untuk subsidi rakyat, malah pemerintah doyannya menggunakan SILPA
untuk keperluan yang kontra produktif semisal simposium dan perjalanan dinas
yang tidak memiliki target jelas.
c. Menurut
temuan BPK, jika pemerintah dapat menghemat belanja barang, seperti
seminar-seminar, perjalanan dinas, macam-macam sosialisasi dan sebagainya.
Upaya itu bisa membuat pemerintah menghemat sampai dengan 25 persen dari
anggaran pengeluaran semula. Dari berbagai upaya penghematan yang bisa dan
memungkinkan dilakukan pemerintah, maka ada sekitar Rp35 triliun anggaran yang
kemudian bisa direalokasikan untuk anggaran pendidikan, dan lainnya.
d. Pengamat
perminyakan Kurtubi mengatakan solusi untuk menambah penerimaan Negara dengan
melakukan renegosiasi harga jual gas Tangguh ke Tiongkok. Saat ini, harga jual
LNG Tangguh ke Tiongkok cuma 3,35 dollar AS per per MMBTU. Padahal, harga
normalnya saat ini mencapai 18 dollar AS per MMBTU. Jika berhasil, bisa
menambah penerimaan negara sebesar Rp 30 triliun per tahun. Masalahnya
sekarang, proses renegosiasi LNG Tangguh diserahkan pada BP Migas. Padahal, BP
Migas bukan perusahaan.
e. Solusi
lain menurut Kurtubi yaitu efisienkan cost-recovery. Saat ini, besaran
cost recovery per tahun masih mencapai di atas Rp100 triliun. Cost-recovery
sering mengalami mark-up. Penyebabnya, cost recovery dipegang oleh BP
Migas. Sedangkan BP Migas sendiri merupaka lembaga yang tak terkontrol.
f. Produksi
minyak yang bisa diolah dalam negeri baru 50%, sementara 35 persen lainnya
diserahkan kepada kontraktor untuk membayar cost recovery pengolahan minyak di
luar negeri, dan 15 persen produksi sisanya untuk bagi hasil dengan kontraktor.
Ke depan perlu diupayakan agar seluruh minyak tersebut diolah di kilang dalam
negeri. Dengan kata lain pemerintah harus mengambil langkah untuk men-takeover
35 persen untuk bayar cost recovery. Apabila 85 persen produksi minyak dalam
negeri diolah, maka itu sudah mencukupi kebutuhan BBM untuk dalam negeri.
g. Meningkatkan
windfall profit tax atau pajak tambahan atas keuntungan perusahaan minyak
akibat lonjakan harga minyak mentah dunia, memangkas alur perdagangan minyak
dalam rangka ekspor-impor, menerapkan pajak tambahan kepada kendaraan roda
empat pribadi atas penggunaannya terhadap BBM bersubsidi dan mempersiapkan
infrastruktur BBG secepatnya.
h. Untuk
jangka panjang perlu merancang roadmap kemandirian (keswadayaan) energi dan
bahan bakar dan mengeksplorasi energi-energi alternatif pengganti minyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar