Minggu, 16 Juni 2013

Solusi Tidak Menaikkan BBM




Alasan Dibalik Kenaikan BBM
1.      Liberalisasi Sektor Migas dan Gas
Kebijakan menghapus subsidi BBM berkaitan dengan kebijakan liberalisasi ekonomi yang saat ini tengah berlangsung di Indonesia. Kebijakan menghapus subsidi BBM berhubungan dengan kebijakan uang ketat yang merupakan bagian dari pelaksanaan agenda Konsensus Washington yang diprakarsai IMF. Dibalik kebijakan penghapusan subsidi BBM, Agenda Konsensus Washington pada dasarnya untuk memperbesar peranan mekanisme pasar dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia.

Tahapan penghapusan subsidi BBM merupakan tahapan lanjutan dari liberisasi sector migas di Indonesia. Undang Undang (UU) Minyak dan Gas No. 22/2001 memuat insentif bagi para investor pertambangan untuk menanamkan modal mereka di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, sudah sejak lama perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang pertambangan minyak dan gas, seperti Chevron Texaco, Exxon Mobil, BP Amoco Arco, Total Fina Elf, Shell, China petrol oli&gas dan sebagainya sangat berhasrat untuk memperluas wilayah kerja mereka di Indonesia.

Sesuai dengan ketentuan yang lama yaitu UU Pertambangan Minyak dan Gas No. 44 Prp/ 1960 dan UU Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara No. 8/1971, perusahaan –perusahaan multinasional tersebut hanya diperkenankan berperan sebagai kontraktor dalamproses eksplorasi minyak dan gas di Indonesia.

UU No. 22/2001 menghilangkan perbedaan antara perusahaan-perusahaan multinasional tersebut dengan PT Pertamina, penjualan BBM dengan harga bersubsidi jelas sangat merugikan mereka. SPBU perusahaan multinasional tersebut terlihat sepi dan tidak menarik selama disparitas harga BBM di Indonesia masih jauh dari harga pasar.

Menurut pengamat ekonomi Ichsanudin, liberalisasi menjadi masalah ketika pemerintah menerapkan harga pasar, namun di sisi lain pemerintah tidak menerapkan strategi bagaimana masyarakat mempunyai pendapatan pasar. Akibatnya, kenaikan harga BBM dan harga barang tak diikuti kenaikan pendapatan masyarakat.

2.      “Subsidi” atau Mengurangi Keuntungan
Menurut pengakuan Wamen, pendapatan negara dari minyak bumi saat ini adalah sekitar Rp 205 triliun dengan asumsi produksi 930.000 barrel/hari, harga minyak $105/barrel, kurs Rp 9.000/dollar dan untuk APBN 2013 cost recovery yang disetujui DPR ialah US$15,5 miliar. Setiap tahun pemerintah mengeluarkan subsidi BBM yang disebabkan pemerintah harus membayar minyak yang diimpor. Tahun ini, menurut Wamen subsidi BBM yang dikeluarkan pemerintah adalah Rp 178 triliun dengan asumsi harga minyak $105/barrel dan kurs Rp 9.000/dollar (serta jumlah minyak impor yang mencapai 516.000 barrel/hari atau 82 juta liter/hari.

Biaya produksi minyak mentah per barel per hari ialah Rp 430.556 atau Rp2.710 per liter per hari. Namun karena Indonesia memenuhi kontrak bagi  hasil dengan kontraktor minyak asing (menguasai 85,3% dari total lifting), dari pelaksanaan kontrak itu Indonesia hanya memperoleh 60% dari hasil minyak yang diisap dari perut bumi Indonesia. Porsi 60% itu disebabkan Indonesia harus menanggung biaya cost recovery yang dibayar lebih dulu oleh kontraktor minyak dan berdampak mengurangi hak bagi hasil Indonesia. Justru dengan porsi itu biaya produksi minyak mentah per liter per hari yang ditanggung pemerintah menjadi Rp 4.516.  Dalam praktik pada umumnya biaya bensin premium terdiri atas 60% minyak mentah (Rp4.516) dan 40% hal-hal lainnya (Rp3.011). Jadi, total biaya  minyak olahan ialah Rp4.516 ditambah Rp3.011 sama dengan Rp7.527, belum  termasuk fee produksi minyak mentah, pengolahan dan distribusi serta  alfa Rp642 per liter.

Kalau dihitung termasuk pajak 15% (Rp1.241), harga jual akhir di pemakai  RON 88 ialah Rp9.518 per liter, dibulatkan Rp9.500. Jika dibandingkan dengan harga pertamax, RON 88 itu terlalu mahal. Artinya, rakyat membeli minyak (bensin RON 88) milik bumi Indonesia--sesuai dengan target  makro ekonomi yang ditetapkan APBN--dengan biaya yang sangat tinggi.
Harga RON 88 Rp9.500 per liter itu diasumsikan antara biaya yang  dikeluarkan untuk mendapat minyak dalam negeri dan harga untuk membeli minyak impor ialah sama. Padahal, dalam kenyataan tidak demikian. 

Dalam akutansi, biaya adalah semua pengeluaran yang tidak kembali alias hangus. Dan subsidi juga termasuk biaya. Dengan pengertian tersebut maka berarti subsidi senilai Rp 178 triliun per-tahun tersebut adalah untuk membayar impor minyak yang diberikan gratis kepada masyarakat. Dengan demikian subsidi tersebut benar-benar menjadi biaya yang tidak kembali alias hangus. Padahal masyarakat tidak pernah gratis mendapatkan minyak. Masyarakat membayar, meski lebih rendah dari harga impornya, katakanlah seharga harga premium Rp 4.500/liter. 

Dari pembayaran impor sebesar Rp 178 triliun tersebut pemerintah melalui Pertamina mendapat pemasukan sebesar Rp4500 x 82 juta x 365 = Rp 134 triliun. Dengan kata lain subsidi yang benar-benar subsidi adalah Rp 178 triliun - Rp 134 triliun = Rp 44 triliun. Dibanding pendapatan pemerintah dari minyak sebesar Rp 205 triliun, nilai 44 trilyun sungguh tidak berarti.

Pernyataan wamen tersebut menunjukkan pemerintah tidak pernah memenuhi janji good governance yang mewajibkan keterbukaan dan kejujuran akan perhitungan biaya produksi sendiri dan biaya impor BBM sehingga didapat harga campuran. Pemerintah tidak memberikan pengertian hukum apa yang dimaksud dengan subsidi. Namun, langsung menerima gagasan  Bank Dunia dan lembaga internasional lainnya bahwa subsidi pada barang ialah salah dan hal itu telah membuat subsidi salah sasaran. Padahal, pengertian subsidi dalam rujukan ekonomi konstitusi termasuk ke makna untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah tidak membuat perbandingan alokasi subsidi. Misalnya saat pemerintah membayar bunga obligasi rekapitalisasi perbankan dan membayar bunga obligasi bermata uang asing dengan bunga tinggi seperti yang terjadi pada 2010.

Pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy menilai, pemerintah berniat membodohi masyarakat ketika menyebutkan biaya pokok produksi minyak mencapai Rp 9 ribu. Ia mempertanyakan asal-usul keluarnya angka 9 ribu dari subsidi sebesar Rp 5 ribu per liter. Ketika ditanyakan kepada Wamen ESDM bagaimana bisa menghitung harga sampai Rp 9 ribu, wamen tidak bisa jawab.

Ichsanuddin mengatakan, pemerintah harus mendefinisikan istilah subsidi untuk rakyat secara tepat. Hingga saat ini pemerintah tidak pernah memberikan pengertian apa itu subsidi. Oleh karena itu, sejumlah masalah mencuat terkait upaya pemerintah yang bersikeras mengurangi subsidi BBM dan mengalihkan sebagian subsidi BBM tersebut ke pangan.

Noorsy mencontohkan, beberapa masalah yang muncul di antaranya sampai sejauh ini subsidi dipahami sebagai selisih harga jual dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Padahal saat subsidi itu dilakukan pada komoditas hajat hidup orang banyak maka subsidi ini harus dilihat juga sebagai alokasi APBN untuk fungsi distribusi dan stabilisasi.

Dalam kaitannya dengan itu, sayangnya pemerintah sudah terlanjur berpandangan bahwa APBN adalah campur tangan pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, subsidi selalu dikaitkan bahwa di dalam harga jual, para produsen dianggap sudah menetapkan keuntungan.

Menurut Noorsy, dalam ekonomi, kepuasan konsumen ada batasnya tetapi kepuasan produsen tidak terhingga, akibatnya konsumen akan patuh kepada produsen. Rumusan konsumen adalah raja selama ini sekadar ilusi belaka karena produsen selalu membentuk persepsi konsumennya.

3.      Ekonomi Fatamorgana
Pujian buat "prestasi" ekonomi Indonesia pada panggung Internasional berkali-kali diberikan oleh Bank Dunia. Pemimpin Indonesia disebut lame duck (The Economist edisi 25 Februari 2012) dan limp (The Economist edisi 23 Februari 2013). Yang menarik, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi kelima terbesar pada 2030. Padahal struktur ekspor Indonesia yang mengandalkan bahan mentah, tidak layak diberikan apresiasi. Model ekonomi seperti itu persis model ekonomi zaman penjajahan VOC dan Belanda. Apalagi ketergantungan Indonesia terhadap impor barang modal, bahan baku dan impor bahan bakar minyak (BBM) sangat tinggi.

Jika cadangan devisa masih cukup untuk impor selama 5,7 bulan dan bayar utang luar negeri, hal itu disebabkan investasi portofolio cukup deras memburu SBN. Ini pun dipandang sebagian besar ekonom sebagai prestasi. Tentu saja para pemilik modal berburu global medium term note (SBN berdenominasi dolar AS) karena imbal hasilnya 3,375 persen di saat Fed Rate tetap bertengger 0,25 persen, bunga Bank of Japan 0,1 persen, dan bunga ECB juga mendekati 1 persen.

Bahkan Indonesia pada 2009 pernah menjual surat utangnya dengan imbal hasil 10,5 persen untuk tenor 5 tahun dan 11,75 persen untuk tenor 10 tahun. Tentu saja para pemodal di negeri Paman Sam tergiur. Lalu, atas nama net oil importer, pemerintah menyatakan subsidi BBM salah sasaran, dan karenanya harga eceran perlu dinaikkan agar defisit APBN tidak membesar dan tekanan fiskal bisa dikurangi.

Persoalan di atas tentu tidak sederhana dan sulit diatasi untuk jangka pendek. Yang pasti, impor barang modal, bahan baku industri, dan BBM serta struktur ekspor yang didominasi barang mentah, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen pada 2011 dan 6,2 persen (tahun 2012) sebagai pertumbuhan ekonomi fatamorgana.
Pertama, yang mengekspor adalah swasta (asing dan domestik) dan menempatkan devisa hasil ekspornya di luar negeri. Kedua, impornya adalah bahan baku industri, barang modal, dan BBM yang mengakibatkan transaksi berjalan berpotensi defisit. Ketiga, transaksi modal dan finansial yang membesar membuktikan bahwa Indonesia hanya dijadikan tempat tumbuh yang buahnya diambil oleh investor (asing).

Keempat, liberalisasi investasi dan perdagangan serta keuangan mengakibatkan nilai tukar rupiah mudah sekali berfluktuasi sehingga mudah mendorong inflasi. Kelima, makin besar kita bayar utang luar negeri (ULN), makin besar pula jumlah utang. Inilah jebakan ULN karena dengan ULN bangsa Indonesia makin dalam terjajah. Alhasil, barang-barang impor dan gejolak nilai tukar berbuah inflasi dan inflasi sendiri adalah senjata yang siap menghunus debitur ULN. Sisi lain benar bahwa kelas menengah kini mencapai 56,6 persen dari jumlah penduduk meski dengan posisi ketahanan ekonomi yang lemah. Lihat saja, impor beras, wortel, cabai, bawang, daging sapi, garam, ikan, beras, gula dan barang konsumsi lainnya. Ini berarti pasar domestik yang besar bukan dipasok produsen domestik.


4.      Struktur Ekonomi
Sebagian besar manfaat subsidi BBM terhadap anggota masyarakat golongan mampu dan orang kaya sama sekali bukan kesalahan subsidi BBM, melainkan lebih erat kaitannya dengan corak struktur perekonomian Indonesia yang memang terlanjur sudah sangat timpang.

Batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia, yaitu penduduk dengan penghasilan kurang dari US$2 atau sekitar Rp19.000 per hari. Jumlah penduduk Indonesia saat ini yang berpenghasilan dibawah US$2 masih berjumlah sekitar 60 persen dari jumlah 240 juta penduduk. Sebaliknya, deposito dengan jumlah minimal Rp 5 milyar, yang secara keseluruhan meliputi 95 persen dari jumlah seluruh deposito yang terhimpun pada berbagai bank di Indonesia, diperkirakan hanya dimiliki oleh 14.000 orang terkaya di Indonesia.

Apabila dikaji lebih jauh, jangankan subsidi BBM, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, dan sebagainya cenderung lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu dan orang kaya daripada oleh anggota masyarakat golongan bawah dan orang miskin.

Yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah berlanjutnya pemberian subsidi BBM, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya yang cenderung tidak tepat sasaran tersebut bukan dengan cara meniadakan pemberian subsidi. Melainkan melakukan koreksi sistematis terhadap struktur perekonomian Indonesia yang timpang.

Caranya adalah dengan memerangi korupsi, menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap sektor perbankan misalnya kredit dengan bermodalkan “surat sakti” dari pejabat tertentu, mengalokasikan anggaran negara yang lebih besar bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan alokasi anggaran untuk membiayai pendidikan dan kesehatan, dan meningkatkan tarip pajak kendaraan berlipat ganda bagi pemilik kendaraan roda empat lebih dari satu.

5.      Postur APBN yang tidak sehat
Dari sudut pandang ekonomi, kenaikan BBM ini juga tidak tepat. Jika kita melihat perkembangan APBN sejak tahun 2010 sampai dengan 2012, maka akan terlihat bahwa Pemerintah mengarahkan pos subsidi APBN berkurang hingga mencapai lebih dari 3% dari 17,96% pada tahun 2011 menjadi hanya 14,72% pada tahun 2012. Penurunan jumlah subsidi terhadap BBM, termasuk energi, menyumbang penurunan nilai subsidi sebesar 94,28% pada APBN. Ironisnya, hal ini berkebalikan dengan kenaikan anggaran belanja pegawai yang hampir mencapai 3% dari sebelumnya 13,85% pada tahun 2011 naik menjadi 15,21% pada tahun 2012. Kenaikan belanja pegawai tidak berarti menaikkan kesejahteraan penduduk. Kenaikan belanja pegawai juga tidak memberikan efek positif dan peningkatan kinerja yang signifikan terhadap birokrasi Indonesia. Jika kondisi pegawai negeri sipil masih seperti sekarang dimana hanya terdapat 5% PNS yang berkompeten dan 95% lainnya kinerjanya rendah dan menjadi sarang korupsi. Maka tidak tepat apabila struktur APBN lebih memihak belanja pegawai daripada mensubsidi rakyat banyak.

6.      Beban Hutang
Jika dilihat dari postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), besarnya defisit anggaran dan sangat beratnya beban APBN disebabkan beberapa hal antara lain sangat besarnya pengeluaran negara untuk membayar angsuran pokok dan bunga hutang dalam dan luar negeri setiap tahunnya. Pembayaran angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri dalam anggaran negara rata-rata mencapai Rp170 trilyun setiap tahun.

Menurut pengamat ekonomi Ichsanuddin,  pembayaran bunga utang Indonesia pertahunnya sudah Rp 170-an trilliun. Utang itu berasal dari beban bunga penjualan obligasi yang lebih tinggi dibanding BI Rate.  Bahkan untuk Global Mutual Fund bermata uang dolar AS, obligasi pemerintah dijual dengan imbal hasil 10,5 persen untuk tenor lima tahun dan 11,75 persen untuk tenor 10 tahun. Di saat yang sama Federal rate AS hanya 0,25 persen.

Pembayaran angsuran pokok dan bungan hutang dalam negeri dan luar negeri pada dasarnya adalah subsidi terselubung yang dikeluarkan pemerintah untuk para pemilik modal, yang jumlahnya hanya 14.000 dari total penduduk Indonesia.

Selama beberapa tahun belakangan ini, subsidi BBM telah mengalami penurunan. Sebab itu, subsidi BBM sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai kambing hitam membengkaknya defisit APBN. Beban berat anggaran negara terutama disebabkan oleh sangat besarnya subsidi terselubung yang diberikan pemerintah terhadap sektor perbankan dan sangat besarnya beban angsuran pokok dan bunga utang dalam negeri setiap tahunnya.


7.      Rejeki Nomplok
Tahun 2003 dan 2004 , produksi minyak Indonesia mencapai 1,09 juta barrel dan 1,15 juta barrel per hari. Sedangkan produksi tahun 2013 diperkirakan sebesar 830 ribu hingga 850 ribu barrel per hari (bph). Sebagian produksi minyak Indonesia, dengan pertimbangan bahwa kualitas dan harganya jauh lebih tinggi, di ekspor ke negara lain. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri, Indonesia mengimpor minyak dengan kualitas dan harga yang lebih rendah dari negara lain.

Kenaikan harga minyak di pasar internasional sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM. Sebagai salah satu Negara produsen dan pengekspor migas, Indonesia sesungguhnya juga memperoleh manfaat dari kenaikkan harga minyak tersebut. Jika dilihat dari sudut APBN, sejalan dengan meningkatnya harga minyak di pasar internasional, penerimaan negara dari sektor migas yang meliputi PPh Migas dan Penerimaan Bukan Pajak Migas, seharusnya juga mengalami peningkatan secara signifikan.

Kenaikan harga minyak dunia seharusnya memberikan kenaikan pada penerimaan Negara. Kenaikan tersebut berkisar 20-45 Persen. Alasan pemerintah menaikan harga BBM karena kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional (New York Exchange Mercantile) yang saat ini telah menembus angka 120 US dollar per barrel semakin membebani APBN.

Memang benar kenaikan harga minyak dunia pasti berimplikasi serta berkonsekuensi terhadap penerimaan dan pengeluaran negara. Akan tetapi seharusnya setiap momentum kenaikan harga tidak serta-merta dapat menjadi alasan pembenar bagi pemerintah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kalau mau fair (adil) pemerintah harusnya juga menjelaskan bahwa kenaikan harga minyak dunia tidak hanya mengakibatkan naiknya belanja pemerintah (khususnya beban subsidi). Lonjakan harga juga memberi “rejeki” berupa meningkatkan pendapatan dari minyak dan gas. Seperti yang dipaparkan Tim Konsorsium Peneliti Perguruan Tinggi (UI-UGM-ITB), bahwa jika terjadi kenaikan harga minyak dunia rata-rata 10%, maka akan meningkatkan pendapatan negara dari Migas sebesar Rp3,5 triliun. Dan tentu akan lebih signifikan lagi keuntungan yang didapat oleh Indonesia jika saja negara ini menjadi net eksportir minyak.

Perlu dipahami bahwa Kenaikan harga minyak mentah akhir-akhir ini di pasar internasional bukan akibat real cost (biaya sebenarnya) tetapi lebih diakibatkan oleh tindakan para spekulan yang beralih dari portofolio seperti mata uang dan saham yang belakangan ini kurang menguntungkan sebagai dampak dari krisis keuangan global. Adanya selisih antara harga jual dengan harga internasional inilah yang dianggap pemerintah sebagai subsidi. Padahal tidak seluruh konsumsi minyak mentah Indonesia yang mencapai 1,2 juta barel per hari tersebut diimpor.

Dengan rata-rata produksi minyak (lifting) sebesar 927.000 barrel per hari maka impor minyak mentah Indonesia berkisar antara 300-400 ribu barel per hari. Dengan demikian jika terjadi lonjakan harga, maka peningkatan subsidi hanya terjadi pada jumlah yang diimpor saja. Kesalahan fatal pemerintah terjadi ketika menganggap BBM sebagai komoditas yang harus dijual dengan harga pasar.

8.      Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai alat pencitraan dan tidak mendidik
Ketua Umum PBNU KH Sa’id Aqil Siradj beranggapan bahwa BLSM tidak mendidik, Kiai Said mengusulkan agar disalurkan dalam bentuk yang lebih mendidik semisal pemberian modal kerja, tambahan subsidi pendidikan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat dan lainnya.

Bonny Hargens berpendapat, setidaknya ada dua alasan rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sarat politis, khususnya oleh Partai Demokrat. Pertama, kenaikan harga BBM menjadi alat Partai Demokrat menggarap dukungan masyarakat. Melalui kebijakan sinterklas. Kenaikan BBM akan disusul dengan BLSM, ini alat politik yang mau dipakai Demokrat untuk memperoleh dukungan menjelang pemilu. Alasan kedua, rencana kenaikan harga BBM berpotensi sebagai alat mencari  dukungan finansial untuk Pemilu 2014. Karena, kenaikan BBM akan memberikan keuntungan bagi pengusaha migas. Kelompok pengusaha ini akan menjadi donatur potensial di Pemilu.

BLSM bersifat sementara sedangkan kenaikan harga BBM bersifat permanen dan pasti akan naik lagi. Karena itu, BLSM Ini adalah proses yang disebut sebagai bagian dari kemiskinan structural. BLSM menjadi wujud bahwa pemerintah memang menerapkan ekonomi berbasis pasar. Pemerintah berpandangan kemiskinan dapat diselesaikan lewat pemberian yang instan padahal yang terjadi adalah suatu proses kelanjutan kemiskinan struktural dan cultural.

9.      Kenaikan BBM Tidak Menghemat Anggaran Negara
Berdasar dokumen RAPBN 2013 yang diterima dan kemudian dianalisis oleh Fitra (Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran), penghematan yang dimaksud Pemerintah adalah kenaikan harga akan membatasi kenaikan patokan volume BBM bersubsidi dari 46 juta kiloliter menjadi 48 juta kiloliter. Bila harga tak dinaikkan, maka Pemerintah harus mensubsidi kenaikan volume BBM bersubsidi hingga 53 juta kiloliter. Dengan demikian penghematan hanya sekitar 5 juta kiloliter atau setara uang sekitar Rp 17,5 Triliun.

Anggaran penghematan itu rencananya akan diperuntukkan ke Bantuan Langsung Sosial Sementara (BLSM) sebesar Rp 11,6 Triliun untuk 15,5 Juta Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Setiap RTSM diberikan uang tunai sebesar Rp 150 Ribu perbulan selama lima bulan.
Sisanya Rp 6 triliun diklaim untuk penambahaan anggaran untuk program pembangunan infrastuktur sebesar. Namun faktanya,  uang itu bukan digunakan untuk memperbaiki jalan yang banyak rusak. Tetapi lebih kepada Infrastruktur air bersih, irigasi, serta program pembangunan Infrakstuktur perdesaan (PPIP).

Apalagi, ada indikasi pemborosan anggaran karena ada dobel anggaran. Sebab Pemerintah juga akan memberikan alokasi anggaran untuk program bantuan beasiswa sebesar Rp 7,4 Triliun; dan penambahan dana program keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp 728,8 Miliar. Pada program PKH, RTSM akan menerima paling rendah sebesar Rp 800 ribu dan paling tinggi Rp 2,8 juta pertahun, plus beras raskin.

10.  Kegagalan Kebijakan Energi Nasional
Ichsanuddin berpendapat, pemerintah Indonesia tidak pernah bersungguh-sungguh dalam membuat kebijakan energi. Kebijakan energy tidak rumuskan sedemikian rupa dari hulu sampai hilir.

Indonesia ekspor 70% Batubara ke luar negeri. Indonesia pengekspor LNG terbesar di dunia. Indonesia ekspor 500.000 barrel per hari minyak. Tapi, di dalam negeri listrik sering padam, rakyat antri gas, dan bensin pun harganya terus meningkat. Sebab, Pertamina hanya memproduksi 13,8% sementara sisa minyak di Indonesia dikelola asing. Chevron (44%), Total E&P (10%), Conoco Phillip (8%), Medco (6%) , CNOOC (4%), Petrochina (3%), dll (Sumber : Dirjen Migas 2009). Harganya pun harus harga Internasional.

Keuntungan Perusahaan Migas yang beroperasi di Indonesia, Exxon Mobil tahun 2007 sebesar US$ 40,6 milyar (Rp 373 trilyun) dari pendapatan US$ 114,9 milyar (RP 1.057 trilyun –CNN).
Bagi hasil migas sebesar 85:15 untuk pemerintah dan perusahaan asing baru dilakukan setelah dipotong “Cost Recovery” yang besarnya ditetapkan perusahaan asing. Jika tidak tersisa, Indonesia tidak dapat. Di Blok Natuna setelah dipotong Cost Recovery Indonesia dapat 0 dan Exxon 100% (Kompas, 13 Oktober 2006)‏. Transparansi International Indonesia menemukan biaya senang-senang main golf dimasukkan dalam Cost Recovery (DetikFinance.com)

11.  Masyarakat Tidak Boros Menggunakan BBM
Pemerintah pernah menyatakan kalau BBM murah akan menjadikan masyarakat boros menggunakan BBM. Faktanya, konsumsi BBM Indonesia cukup rendah, berada di urutan ke-116 di bawah negara Afrika seperti Botswana dan Namibia.

Berikut tabel konsumsi BBM (barel per orang /tahun) di beberapa negara
Negara
Ranking
Konsumsi BBM
GNP/Capita
Singapura
1
59.5
21.230
AS
7
25.8
37.870
Jepang
23
15.6
34.180
Jerman
36
12.4
25.270
Malaysia
47
7.8
3.880
Botswana
87
3.7
3.530
Namibia
98
2.6
1.930
Indonesia
116
1.7
810

Pemerintah mengatakan bahwa harga BBM di Indonesia murah karenanya harus dinaikkan. Di Jepang, Amerika, Cina dan Malaysia memang harga BBM lebih tinggi dari pada di Indonesia, tapi perlu ingat, pendapatan perkapita Negara tersebut jauh lebih tinggi dari pada pendapatan perkapita Indonesia. Namun pada faktanya BBM di Indonesia (premium, Rp 4.500/liter) lebih mahal dari pada Venzuela Rp 460/liter, Turkmenistan Rp 736/liter, Iran Rp 828/liter, Nigeria Rp 920/liter, Saudi Arabia Rp 1.104/liter, Kuwait Rp 1.932/liter, dan Mesir Rp 2.300/liter.

Tabel perbandingan harga bensin di beberapa negara
Negara
Rp./Liter
Populasi
GNP/Capita
Venezuela 
460
26.000.000
3.490
Turkmenistan 
736
5.000.000
1.120
Iran
828
68.000.000
2.010
Nigeria
920
129.000.000
350
Saudi Arabia 
1.104
27.000.000
9.240
Kuwait 
1.932
2.400.000
17.960
Mesir 
2.300
78.000.000
1.390
Indonesia
4.500
220.000.000
810
Malaysia 
4.876
24.000.000
3.880
Cina 
5.888
1.300.000.000
1.100
AS
8.464
296.000.000
37.870
Jepang
9.292
128.000.000
34.180

12.  Subsidi salah sasaran
Ichsanuddin Noorsy menyebutkan, kebijakan kenaikan harga BBM diarahkan oleh Bank Dunia. Hal tersebut terlihat dalam Blue print Badan Pengelola Migas 2004-2020. Pada 2010 adalah tahap pasar bebas. Hal itu diperjelas dengan upaya mengembangkan mekanisme harga keekonomian energy.

Noorsy mempertanyakan alasan pemerintah mencabut subsidi dengan asumsi salah sasaran. Menurut Noorsy, logika pemerintah salah. "Siapa yang dimaksud orang kaya, apakah mereka yang mempunyai mobil. Orang kaya di Indonesia yang memiliki mobil mewah kurang dari 5%. Sedangkan 95% mobil yang terjual di Indonesia bercc 1500 ke bawah. Sebanyak 65% di antara mereka rmembeli dengan kredit dengan cicilan Rp3,4 hingga Rp3,6 juta.

Faktanya yang banyak menggunakan BBM adalah supir bis, metromini, mikrolet, supir truk, para nelayan, dan pengendara motor yang memang memaksakan diri membeli /menyicil motor untuk mengirit. Penumpang angkot (bukan orang kaya) jika BBM naik pasti menderita karena tarif angkot naik. Di Indonesia dengan sistem pajak yang dzalim sebenarnya orang kaya juga berhak mengkonsumsi BBM subsidi karena mereka juga membayar pajak dengan jumlah yang cukup tinggi.

Solusi Agar Tidak Menaikkan BBM
1.      Menurunkan Anggaran Kementerian
Dalam postur APBN-P 2013 total belanja negara mengalami peningkatan sebesar Rp46 triliun. Peningkatan ini diakibatkan karena kesalahan pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Kesalahannya karena pemerintah tidak mampu mengalokasikan secara berkelanjutan kekurangan bayar subsidi BBM. Kekurangan bayar tahun 2010 sampai 2012 dibebankan dalam tahun anggaran 2013. Ini merupakan bentuk ketidakadilan pengelolaan anggaran.

Menurut Eky, Anggota komisi XI DPR, Jumlah yang harus ditanggung akibat kurangnya bayar subsidi pada RAPBNP 2013 sebesar Rp36,9 triliun. Jumlah tersebut antara lain untuk kurang bayar subsidi BBM sebesar Rp16,1 triliun, kurang bayar subsidi listrik Rp19,1 triliun dan kurang bayar subsidi pupuk sebesar Rp1,7 triliun.  Selain itu, pemerintah melakukan sebuah kesalahan di tahun-tahun sebelumnya karena jumlah penerimaan tidak berbanding dengan pengeluaran negara. Ini merupakan kesalahan pemerintah dalam pengelolaan keuangan Negara.

Pemerintah harus lebih kreatif dalam memberikan alternatif-alternatif lain untuk tidak menaikkan harga BBM. Salah satu alternatifnya adalah dengan asumsi penerimaan menurun tetapi belanja konstan, dengan demikian, kenaikkan BBM dapat dihindari. Asumsi Rp30 triliun yang digunakan sebagai pengurangan subsidi dapat ditutup melalui sisa anggaran lebih (SAL). Namun tetap harus diseimbangkan agar defisit tetap terjaga dibawah 3 persen. Kalaupun itu harus terkoreksi maka belanja KL (Kementerian dan Lembaga) harus menurun sebanyak Rp30 triliun.

2.      Sikat Mafia Gas
Rizal Ramli mantan Menko Perekonomian menyatakan sebagian besar dari apa yang disebut sebagai "subdidi" adalah subsidi untuk praktik KKN, mafia migas, serta inefisiensi di PLN dan Pertamina. Namun dengan mudah pemerintah membebankan ekonomi biaya tinggi dan kesalahan manajemen tersebut kepada rakyat Indonesia untuk menanggungnya.Para mafia migas ini meraup untung sekitar Rp 10 triliun per tahun. Menaikkan harga BBM cuma menghasilkan pemasukan Rp 21 triliun dengan dampak yang pasti membuat beban rakyat semakin berat.
Sejak delapan tahun lalu, Rizal Ramli sudah berulang-ulang menyarankan agar segera membangun kilang (refinery) BBM. Langkah ini akan menurunkan biaya produksi BBM. Dengan kilang baru, Indonesia bisa menghemat biaya transportasi dan asuransi mengangkut minyak mentah ke Singapura dan impor BBM jadi. Artinya, tidak perlu memberi keuntungan kepada kilang dan pajak di luar negeri. Kalau pun harus mengimpor migas, seharusnya Pertamina bisa mengimpor langsung tanpa melalui mafia.

3.      Optimalisasi Kerja Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS)
Wakil Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Hardiono memanggil kontraktor minyak dan gas bandel yang belum juga melakukan eksplorasi di wilayah kerjanya masing-masing. Saat ini terdapat setidaknya 179 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang memiliki komitmen eksplorasi. Namun, baru sekitar 30 kontraktor yang memenuhi komitmen. Sayangnya, KKKS belum melakukan aktivasi sumur secara serius. Kebanyakan KKKS ternyata mengikuti tender untuk future trading. Artinya, kontraktor hanya melakukan studi seismik. Setelah mendapat data mereka akan menunggu investor baru untuk masuk ke wilayah kerja mereka. Hardiono mengatakan KKKS menghabiskan biaya uji seismik habis US$ 1 juta, kemudian KKKS menjual US$ 2 juta dan selisih US$ 1 juta merupakan keuntungannya.

Salah satu hal yang menyebabkan kontraktor tidak serius memenuhi komitmen karena pengawasan masih parsial dan kurang maksimal. Perlu memperketat jenjang waktu komitmen eksplorasi dari 0 sampai 6 tahun juga diperketat. Bila setelah melewati tahun keenam kontraktor belum juga memulai eksplorasi, kontrak terpaksa diputuskan dan wilayah Kerja kembali dilelang. Beberapa faktor eksternal penghambat antara lain adalah tumpang tindih lahan, perizinan, ganti rugi, dan isu sosial masyarakat.

Selain itu, ada juga kendala internal perusahaan seperti pembagian operator dan finansial yang menghambat perusahaan memenuhi komitmen pasti. Padahal, industri hulu migas sifatnya padat modal dan berisiko tinggi. Yang terjadi belakangan ini adalah sering kali beberapa kontraktor berniat menawarkan berbagi risiko dengan pihak lain dan hal ini yang terhalang oleh aturan.

4.      Perlu mencari titik eksplorasi baru untuk meningkatkan produksi minyak
Indonesia memang bukan negara kaya akan minyak. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 1 Januari 2012, cadangan terbukti (proven reserve) mencapai 3,741 miliar barel atau 0,3% dari cadangan dunia, sedangkan cadangan potensial (potential reserve) sebesar 3,666 miliar barel.

Selama 2011, Indonesia memproduksi minyak sebesar 329 juta barel. Dari produksi tersebut, sebanyak 132 juta barel diekspor ke luar negeri. Tetapi, Indonesia juga mengimpor berupa minyak mentah sebanyak 99 juta barrel dan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) 182 juta barel. Sementara itu, konsumsi BBM mencapai 479 juta barel. Ini menyebabkan negara defisit minyak hingga 150 juta barel per tahun. Artinya, dengan tingkat konsumsi BBM nasional rata-rata mencapai 40 juta kilo liter per tahun, cadangan minyak Indonesia akan habis dalam kurun waktu 10-12 tahun lagi. Tak heran, predikat negara net importir minyak terbesar di Asia Tenggara telah disandang Indonesia. Memang saat ini adalah masa yang suram, mengetahui negara ini dulu bisa memberikan pendapatan besar dari ekspor minyak bagi masyarakat.

Terjadinya penurunan produksi disebabkan beberapa hal, seperti penurunan efesiensi peralatan produksi, kerusakan formasi ataupun daerah di sekitar lubang bor, sehingga mengurangi kemampuan mengalirnya fluida, penurunan tekanan reservoir, gas-oil ratio (komposisi minyak dan gas), dan kenaikan kadar air. Selain itu, kondisi cuaca yang buruk juga berimplikasi cukup besar atas penurunan produksi minyak.

Pertama kali Indonesia melakukan ekspor minyak adalah pada Mei 1958 sebanyak 1.700 ton dengan nilai US$30.000 dari Pelabuhan Pangkalan Susu. Itu adalah bukti bahwa sudah sejak lama Indonesia telah masuk dalam era perdagangan minyak dunia mengglobal. Apalagi, jika diingat semakin banyak kontraktor asing berdatangan untuk mencari minyak di Indonesia. Sejak itulah, pengusaha-pengusaha luar negeri mulai menanamkan modal investasinya. Namun, akibat dari ekspor tersebut tidak diimbangi dengan kebutuhan domestik, menjadikan negara sebagai net importir minyak karena setiap hari produksi minyak terus dipompa untuk memperoleh devisa negara.

Pada 1893 hingga 1982, jumlah kumulatif produksi minyak mentah Indonesia telah mencapai sekitar 10,4 miliar barrel. Ini membuktikan bahwa usia pencarian serta produksi minyak di Indonesia telah lebih dari 100 tahun, walau nyatanya minyak terus mengalir dan belum habis-habis juga. Pada 1982, tercatat cadangan terbukti minyak mentah Indonesia sekitar 9,6 miliar barel atau sekitar 1,39% dari jumlah cadangan minyak dunia, sehingga selama 30 tahun Indonesia sudah memompa minyak mentah sebesar 5,9 miliar barel.

Perlu ada langkah jangka panjang untuk melakukan eksplorasi agar dapat menemukan cadangan baru menggantikan cadangan terbukti saat ini. Produksi minyak Indonesia sekarang adalah hasil penemuan 15-20 tahun yang lalu. Kalau sekarang tidak ditemukan titik eksplorsi baru, maka 12 tahun yang akan datang, cadangan devisi Indonesia akan habis. Cadangan minyak dan gas Indonesia harus bertambah untuk menjaga ketahanan energi dan kesinambungan industri hulu minyak dan gas bumi di Indonesia

Kondisi eksplorasi migas kini masih memprihatinkan. Secara kualitatif, pengeboran  mencari cadangan baru sangat minim hasil. Dari 80 pengeboran yang dilakukan di wilayah kerja yang sudah kurang lebih tiga tahun, cadangan hanya ditemukan dalam 51 pengeboran, sementara 29 lainnya tak membuahkan hasil.

Selama beberapa tahun terakhir, alokasi biaya operasi untuk kegiatan eksplorasi hanya mencapai 7 persen dari total pengeluaran kontraktor kontrak kerja sama, bahkan lebih rendah dari alokasi biaya untuk administrasi. Hal inilah yang menyebabkan pengeboran eksplorasi menjadi belum dapat masif. Untuk itu, perlu mendesak kontraktor kontrak kerja sama untuk meningkatkan anggaran kegiatan eksplorasi agar terjadi peningkatan kegiatan eksplorasi.

Rencananya, tahun 2012 akan dilakukan pengeboran sumur eksplorasi sebanyak 258 sumur, pengeboran sumur pengembangan sebanyak 1.178 sumur, dan work over sumur produksi sebanyak 1.094 sumur. Selain itu, juga akan dilakukan survei seismik 2D dengan panjang seluruhnya mencapai 18.752 km, survei seismik 3D seluas 22.298 km2, dan kegiatan non seismik sebanyak tujuh kegiatan.

Dari hasil kegiatan pengeboran sumur pengembangan, ditargetkan akan tambahan produksi sebesar 75.044 barel minyak per hari dan produksi gas sebesar 587 juta kaki kubik per hari. Sementara itu, kegiatan work over diharapkan menghasilkan produksi minyak sebesar 33.595 barel per hari dan gas sebesar 333 juta kaki kubik per hari, sedangkan well service diharapkan menghasilkan produksi minyak sebesar 13.052 barel per hari dan produksi gas sebesar 18 juta kaki kubik per hari. Dari hasil kegiatan tersebut, diharapkan akan ada tambahan produksi minyak sebesar 121.691 barel minyak per hari dan gas sebesar 938 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) pada 2013.


5.      Hasil Ekspor Minyak Perusahaan Migas Harus di Masukkan ke Indonesia
Perusahaan minyak dan gas (migas) masih banyak yang tidak memarkirkan Devisa Hasil Ekspor di Indonesia. Akibatnya pemasukan buat negara berkurang. Ekonom Erani Yustika mengatakan, perusahaam migas asing mengeruk keuntungan di Indonesia. Meski demikian, masih banyak perusahaan migas asing yang tidak memarkirkan DHE di Indonesia. Oleh karena itu, ia mengharapkan pemerintah dapat bertindak tegas terhadap perusahaan tersebut.
Padahal Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan mengenai aturan DHE untuk menarik DHE khususnya dari migas. Erani menuturkan, aturan itu dibuat agar perbankan nasional dapat memperkuat dengan adanya tambahan dana dari DHE.
Sebelumnya, BI mengeluarkan aturan trustee untuk menarik dana hasil ekspor (DHE) khususnya dari migas. Direktur Eksekutif dan Kepala Departemen Riset Ekonomi BI Perry Warjiyo mengatakan, pihaknya menginginkan devisa hasil ekspor yang khususnya dari migas agar masuk ke Indonesia. Selama ini salah satu faktor yang membuat DHE sektor migas ini belum masuk ke Indonesia karena belum adanya aturan trustee ini, sementara di luar negeri itu telah ada. Perbankan di Indonesia bisa melakukan service yang integrated. Artinya, bank itu tidak hanya melayani rekening simpanan bentuk giro atau tabungan para pengusaha itu saja, tapi juga pembayaran jasa untuk investasi dan segala macam.

6.      Solusi menutup deficit APBN
a.       Cara lain yang dapat ditempuh untuk mengurangi beban APBN adalah mengurangi porsi pembayaran utang beserta bunganya. Sebagai contoh APBN 2011 kemarin misalnya, pemerintah harus membayar angsuran pokok dan bunga utang sebesar Rp 267,509 triliun. Jelas terlihat uang rakyat habis terkuras hanya untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang. Ketidakberanian pemerintah menempuh rescheduling utang dan hair cut kepada negara-negara kreditor menunjukkan bahwa pemerintah hanya berani mengorbankan rakyat tanpa mau bersusah payah mencari alternatif lain.
b.      Masih ada lagi cara lain untuk menanggulangi meningkatnya besaran subsidi energi BBM akibat naiknya harga minyak dunia yakni dengan menggunakan Sisa Hasil Penggunaan Anggaran (SILPA) tahun lalu sebesar Rp32,2 triliun. SILPA itu bisa digunakan pemerintah untuk mengatasi persoalan dan implikasi kenaikan harga minyak mentah dunia. Alih-alih mengoptimalkan sisa anggaran untuk subsidi rakyat, malah pemerintah doyannya menggunakan SILPA untuk keperluan yang kontra produktif semisal simposium dan perjalanan dinas yang tidak memiliki target jelas.
c.       Menurut temuan BPK, jika pemerintah dapat menghemat belanja barang, seperti seminar-seminar, perjalanan dinas, macam-macam sosialisasi dan sebagainya. Upaya itu bisa membuat pemerintah menghemat sampai dengan 25 persen dari anggaran pengeluaran semula. Dari berbagai upaya penghematan yang bisa dan memungkinkan dilakukan pemerintah, maka ada sekitar Rp35 triliun anggaran yang kemudian bisa direalokasikan untuk anggaran pendidikan, dan lainnya.
d.      Pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan solusi untuk menambah penerimaan Negara dengan melakukan renegosiasi harga jual gas Tangguh ke Tiongkok. Saat ini, harga jual LNG Tangguh ke Tiongkok cuma 3,35 dollar AS per per MMBTU. Padahal, harga normalnya saat ini mencapai 18 dollar AS per MMBTU. Jika berhasil, bisa menambah penerimaan negara sebesar Rp 30 triliun per tahun. Masalahnya sekarang, proses renegosiasi LNG Tangguh diserahkan pada BP Migas. Padahal, BP Migas bukan perusahaan.
e.       Solusi lain menurut Kurtubi yaitu efisienkan cost-recovery. Saat ini, besaran cost recovery per tahun masih mencapai di atas Rp100 triliun. Cost-recovery sering mengalami mark-up. Penyebabnya, cost recovery dipegang oleh BP Migas. Sedangkan BP Migas sendiri merupaka lembaga yang tak terkontrol.
f.       Produksi minyak yang bisa diolah dalam negeri baru 50%, sementara 35 persen lainnya diserahkan kepada kontraktor untuk membayar cost recovery pengolahan minyak di luar negeri, dan 15 persen produksi sisanya untuk bagi hasil dengan kontraktor. Ke depan perlu diupayakan agar seluruh minyak tersebut diolah di kilang dalam negeri. Dengan kata lain pemerintah harus mengambil langkah untuk men-takeover 35 persen untuk bayar cost recovery. Apabila 85 persen produksi minyak dalam negeri diolah, maka itu sudah mencukupi kebutuhan BBM untuk dalam negeri.
g.      Meningkatkan windfall profit tax atau pajak tambahan atas keuntungan perusahaan minyak akibat lonjakan harga minyak mentah dunia, memangkas alur perdagangan minyak dalam rangka ekspor-impor, menerapkan pajak tambahan kepada kendaraan roda empat pribadi atas penggunaannya terhadap BBM bersubsidi dan mempersiapkan infrastruktur BBG secepatnya.
h.      Untuk jangka panjang perlu merancang roadmap kemandirian (keswadayaan) energi dan bahan bakar dan mengeksplorasi energi-energi alternatif pengganti minyak.